Isu mengenai pemindahan ibukota sudah bukan menjadi hal yang asing di telinga warga Indonesia. Di berbagai surat kabar dan juga media sosial berita tentang pemindahan ibukota sudah banyak sekali. Hal ini menjadi trending pembahasan kaum milenial saat ini, terutama bagi mahasiswa perencana. Tentu hal ini menjadi pembahasan yang terbawa sampai di bangku kampus.
Pemindahan Ibukota ini memiliki banyak sekali pro dan kontra. Salah satunya adalah dalam aspek ekonomi. Dari beberapa sumber berita mengatakan bahwa pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur tidak akan mendongkrak perekonomian Indonesia, hal ini dikarenakan apabila ibukota berada di Kalimantan Timur maka yang akan berkembang bukan seluruh bagian dari Kalimantan, melainkan hanya pada daerah ibukota dan juga daerah disekitarnya.
Kemudian, jika melihat dari perkembangan sector di Kalimantan, tidak semua sektor akan berkembang. Justru dari hasil riset saat ini terlihat ada distorsi terhadap sektor yang memproduksi barang atau tradeable, yang akan meningkat hanya properti, spekulan tanah, sedangkan untuk hal lainnya seperti tambang dan juga perkebunan justru akan turun.
Tidak hanya terjadi penurunan pada sektor-sektor di atas, pemindahan ibukota juga akan menimbulkan munculnya biaya tambahan bagi pelaku usaha. Biaya tersebut biasa disebut dengan biaya koordinasi. Hal ini dikarenakan apabila pusat pemerintahan di pindahkan sedangkan pusat ekonomi atau bisnis berada jauh dari pusat pemerintahan maka biaya koordinasinya akan bertambah. Hal ini lah yang kemudian akan menjadi beban bagi pelaku usaha bukan malah menumbuhkan perekonomian.
Namun menurut pemaparan Rudy Prawiradinata di Jakarta pada sebagai Deputi Pengembangan Regional Bappenas bahwa lebih dari 50 persen wilayah di Indonesia akan mengalami peningkatan perdagangan sebagai efek dari pemindahan ibukota.
Selain itu, Rudy juga menjelaskan jika perekonomian Indonesia akan tumbuh 0,1 hingga 0,2 persen. Lain halnya sebelum terjadi pemindahan ibukota, hal ini dikarenakan sebelum ibukota dipindahkan pembangunan di Indonesia dinilai masih Jawa-sentris yang artinya pembangunan dan pengembangan di Indonesia tertinggi masih terpusat di Pulau Jawa.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa sekitar 54,48 persen aktivitas ekonomi Indonesia berpusat di Pulau Jawa. Sebesar 21,58 persen di Sumatra, 8,20 persen di Kalimantan, 3,05 persen di Bali dan Nusa Tenggara, 6,22 persen di Sulawesi serta 2,47 persen di Maluku dan Papua.
Maka dari itu, menurut penjabaran data BPS tersebut bahwa pembangunan di Indonesia masih belum merata. Dan dengan pemindahan ibukota dari Pulau Jawa ke Kalimantan maka pembangunan akan menjadi lebih merata. Di karenakan Kalimantan adalah lokasi yang sudah cukup ideal. Berada di tengah-tengah.
Menurut Ketua umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) Sanny Iskandar mengatakan pemindahan ibukota ke Kalimantan secara bertahap akan berdampak positif terhadap pertumbuhan pusat ekonomi baru. Hal-hal seperti perindustrian manufaktur dan pengembangan kawasan industry berikut infrastruktur dan utilitas industry, area komersial dan perumahan akan berkembang.
Namun melihat dari berbagai sumber, bahwa pengaruh pemindahan ibukota terhadap dampak ekonomi hampir sebagian besar menganggap bahwa hal tersebut justru akan menurunkan perekonomian Indonesia. Hal tersebut tercermin dari berbagai indikator pertumbuhan ekonomi meliputi konsumsi rumah tangga, investasi dan belanja pemerintah serta impor-ekspor. Pemindahan ibukota hanya berdampak positif bagi pertumbuhan PDB di tingkat regional pada pulau Kalimantan.
Dari hasil analisa Ekonom Institue for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa dari sisi pertumbuhan ekonomi, pemindahan ibukota ke Kalimantan Tengah tidak memberikan dampak terukur kepada pertumbuhan ekonomi nasional, yakni hanya sebesar 0,0001 persen. Sementara itu pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur tidak memberikan dampak sama sekali kepada pertumbuhan ekonomi nasional atau 0,00 persen.