Sindrom fangirling pertama kali ditemukkan ketika budaya Kpop menyebar ke seluruh penjuru dunia pada tahun 2011, termasuk Indonesia. Mulanya hanya satu orang saja yang mengalami sindrom fangirling, tetapi bagaikan penyakit menular, orang-orang di sekitarnya pun turut mengalami. Fuschillo (2018) dalam Journal of Consumer Culture menjelaskan lebih lanjut bahwa fangirling adalah sebutan untuk penggemar perempuan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fangirling adalah labelling untuk para penggemar perempuan yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap idolanya.
Namun, seiring perkembangan waktu, fangirling tidak selalu berkonotasi positif. Terkadang ada saja penggemar yang terlalu fanatik terhadap idolanya sampai menghabiskan waktu sehari-harinya untuk mengikuti ke manapun sang idola pergi. Beberapa di antaranya harus terjerat pidana karena membuat kehidupan sang idola terancam.
Bahkan di antara mereka ada juga yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya hanya untuk mendapatkan atensi idola mereka. Contohnya dalam konser NCT 127 yang digelar pada Sabtu (4/11/22) di ICE BSD City Tanggerang berakhir dibubarkan setelah sekelompok penggemar melakukan dorong-dorongan dengan penggemar lain untuk mendapatkan bola bertanda tangan anggota NCT 127 Merubuhkan sebuah barikade yang mengakibatkan lima puluh di antaranya pingsan bahkan terluka akibat tertimpa besi dari barikade.
Selain itu, terdapat beberapa video yang menampilkan kefanatikan penggemar terhadap idolanya berseliweran di media sosial. Terlihat seorang penggemar NCT 127 yang memunguti botol bekas minum yang digunakan sang idola ketika konser. Alasannya hanya karena ingin berkontak secara tidak langsung dengan idola mereka. Padahal kita tidak tahu apakah botol tersebut bersih dan tidak menularkan penyakit. Bagaimana jika botol tersebut mengakibatkan kita terserang penyakit menular berbahaya? Tentu saja, hal ini akan merugikan kita sendiri.
Ada juga video penggemar yang menempelkan topi mereka dengan jejak kaki bekas anggota NCT 127 ketika konser. Menuai beragam komentar yang kebanyakan menganggap bahwa aksi tersebut terlalu berlebihan.
FANATISME DALAM KONSER HANYA BIKIN MALAPETAKA
Sikap mencitai sang idola secara berlebihan sampai berperilaku di luar batas kewajaran kerap dikenal dengan istilah fanatisme. Dalam pandangan Psikologi fanatisme dideskripsikan sebagai antusiasme dan kesetiaan yang berlebih dan ekstrem. Henry H Goddard (2001) selaku tokoh psikologi dunia menjelaskan fenomena fanatisme sebagai sebuah keyakinan yang membuat kehilangan akal sehingga mau melakukan segala hal apapun demi mempertahankan keyakinannya itu. Biasanya komitmen tersebut dibarengi oleh tingkah laku secara aktif, seperti video tren Tiktok "Boys At School Never Look At Me"
Tren tersebut menampilkan seorang penggemar perempuan yang tidak pernah dilirik oleh pria lain di sekolah, tetapi pada akhirnya mendapatkan perhatian dari sang idolanya. Melalui tren tersebut banyak penggemar yang membuat konten serupa ketika idolanya konser. Namun, tren tersebut dapat menimbulkan kericuhan akibat desak-desakan. Bahkan bisa merenggut nyawa para penggemar karena kurangnya asupan oksigen ke dalam otak.
Ini bukan kejadian pertama menonton konser berujung malapetaka. Sebelumnya masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan yang menewaskan delapan orang penonton dan ratusan penonton terluka dalam konser Travis Scott, rapper asal Amerika Serikat pada Minggu (7/11/2021) di Hauston Texas. Tragedi naas tersebut disebabkan oleh kerumunan penonton yang merengsek maju ke depan sehingga menghimpit orang yang berdiri di depan mereka dan mengakibatkan sulitnya bernapas.
Kejadian serupa kembali terulang pada konser Fally Ipupa di Kongo pada Sabtu (29/11/22) yang menewaskan 11 penonton, 2 di antaranya adalah aparat keamanan. Diduga korban tewas akibat kerumunan penonton yang saling dorong-mendorong sehingga menyebabkan sirkulasi oksigen terhambat.