Kesehatan mental atau jiwa menurut undang – undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Hal ini menyatakan bahwa kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik seseorang, karena jika kesehatan fisik tidak baik, maka dapat mengganggu produktivitas masing-masing individu.
Riskesdas (riset kesehatan dasar) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Depresi dapat dialami oleh siapa saja, terutama pada remaja. Depresi remaja memiliki banyak konsekuensi kesehatan dan sosial yang negatif seperti isolasi sosial dan penilaian kesehatan diri yang buruk (Brière et al., 2015; Naicker et al., 2013).
(Pereira et al., 2005) menyatakan bahwa banyak remaja tidak bisa menghilangkan kesedihannya bahkan dengan bantuan dari keluarga maupun teman terdekatnya. Dapat dilihat bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja bahkan anak-anak. Karena kadang hal yang membuat mental anak jadi tidak baik adalah kehidupan sosialnya yang tidak sesuai dengan dirinya.
Depresi terjadi dengan salah satu ciri stres dan kecemasan yang berkepanjangan, menghambat aktivitas dan mengurangi kualitas fisik. Hal ini sungguh tidak baik untuk tumbuh kembang anak, terutama mentalnya. Bukan hanya sulit tidur, anak juga bisa tidak nafsu makan dan melakukan hal-hal berbahaya, seperti self-harm. Bahkan ada yang sampai kecanduan self-harm, karena itu adalah salah satu bentuk pelampiasan yang individu itu miliki.
Lingkungan yang terlihat baik dan nyaman belum tentu baik pula untuk beberapa remaja dan anak-anak. Kadang bukan hanya lingkungan sosial saja yang mempengaruhi kesehatan mental pada anak dan remaja. Lingkungan keluarga pun sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anak dan remaja. Bahkan sedikit banyak remaja yang menyatakan bahwa “Rumah bukanlah tempatku untuk kembali pulang.” Banyak dari remaja dan anak depresi takut untuk kembali pulang ke rumah, karena di rumah pun tidak ada yang menanti kehadiran mereka.
Keharmonisan keluarga memanglah tujuan utama di setiap bahtera rumah tangga. Tapi terkadang keluarga yang harmonis belum tentu menjamin kesehatan mental anak dan remaja sehat. Bahkan ada yang keluarga nya sangat harmonis, tetapi anaknya mengalami depresi. Hal ini dikarenakan kurangnya komunikasi di antara orang tua dan anak. Rasa kurang perhatian orang tua terhadap anak.
Orang tua berpikir hanya dengan mengajak berlibur, memberi materi dan kasih sayang sudah cukup untuk anak, tetapi anak terkadang ingin yang lebih dari itu. Seperti, bertanya “Bagaimana hari ini? Ada cerita apa di sekolah? Tadi ngapain aja di kelas? Tidak apa nilaimu jelek, yang penting kamu sudah berusaha.” Hal kecil seperti ini lah yang terkadang anak butuhkan.
Banyak dari anak-anak dan remaja tidak berani mengatakan bahwa mental mereka sedang sakit, karena takut dikatakan gila dan ditertawakan. Padahal kesehatan mental ini sifatnya sangat fatal jika tidak ditangani dengan baik. Hal ini membuat penderita gangguan kesehatan mental cenderung lebih tidak terbuka terhadap pengobatan, bahkan merasa lebih tertekan oleh stigma sosial.
Padahal, orang harus lebih terbuka dan peka terhadap masalah kesehatan mental di sekitar mereka. Kita bisa menjadi pendengar yang baik untuk orang-orang yang sedang mengalami depresi maupun stres dalam upaya meringankan beban emosi yang mereka pendam. Karena terkadang anak maupun remaja yang sedang mengalami stres maupun depresi hanya butuh untuk didengar, dipeluk dan dimengerti.