Lihat ke Halaman Asli

Anak Sebagai Korban Ego Orang Tua

Diperbarui: 14 November 2023   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar

Surabaya, 13 November 2023. Drama Korea merupakan sebuah hiburan yang marak di kalagan remaja beberapa tahun akhir ini, terutama pada kalangan wanita. Kebanyakan drama Korea, memiliki kisah romansa yang dapat membuat para wanita menggila akan kemesraan pemerannya. Namun tak semua Drama Korea memiliki genre dan alur cerita yang sama. Dalam artikel kali ini, saya Alya jelita Nabilah ramadhani dengan NIM 1512300104 dari kelas Psikologi Perkembangan B dengan dosen pengampu Ibu Sayidah aulia UI Haque, S Psi., M Psi., Psikolog., akan membahas mengenai kaitan Drama Korea yang berjudul ‘PENTHOUSE’ dan mengaitkannya dengan teori Psikologi Perkembangan yang telah dosen pengampu berikan.

Sedikit cerita mengenai Drama Korea yang berjudul ‘PENTHOUSE’ ini, yaitu drama yang bergenre Drama, Misteri, Tindak pidana, Kejahatan, Fiksi Kriminal, Revenge tragedy, dan masih banyak lagi. Drama ini menceritakan tentang kehidupan mewah 5 keluarga beserta anak-anaknya yang berambisi untuk menjadi nomor satu dalam hal apapun termasuk kemampuan anak dan kekayaan. Dalam tulisan ini, saya akan membahas salah satu keluarga yang paling mencolok akan ambisinya hingga mengorbankan kesehatan mental anaknya. Keluarga Ha, yang terdiri dari Dr. Ha sebagai kepala keluarga, Cheon Seojin sebagai ibu, dan Ha eun-Byeol sebagai anak keluarga ini.

Poster Drama Korea PENTHOUSE 

Dalam keluarga Ha, yang sangat berambisi untuk menjadi nomor satu ialah sang ibu. Sang ibu yang merupakan kepala sekolah dari sekolah seni milik keluarganya selalu ingin anaknya menjadi nomor satu sehigga ia melegalkan segala cara termasuk menyuap dan membunuh siapapun yang menghalangi jalannya. Namun, di sini kita akan berbicara tentang anaknya, Ha Eun-Byeol, apakah anak itu bahagia akan semua tindakan yang ibunya ambil untuk dirinya?

Ha eun-Byeol, gadis yang baru memasuki masa SMA itu telah menerima tekanan yang sangat berat semasa hidupnya, dimana ia selalu diforsir oleh sang ibu untuk selalu belajar-belajar-belajar agar menjadi nomor 1. Ia dan ibunya adalah seorang penyanyi orkestra, dimana sang anak selalu dipaksa sang ibu untuk menjadi juara 1 dalam setiap perlombaan. Naas, gadis itu selalu gagal menuruti mau ibunya, yang membuat wanita satu darahnya itu murka dan lebih memforsir anaknya lagi untuk terus berlatih. Jika kita lihat dari sudut pandang sang anak, tentunya anak itu merasa tertekan dan tersiksa.

Di sini, saya akan mengaitkan kejadian ini dengan kenyataan yang ada bahwa masih banyak orang tua di luar sana yang ingin menjadikan anaknya nomor satu namun dengan cara yang salah. Mereka masih memerintah anaknya untuk belajar, belajar, dan belajar tanpa adanya istirahat, beberapa juga rela mengeluarkan uang lebih untuk misalnya menyuap salah satu sekolah negeri agar anaknya dapat bersekolah di sana, ketimbang memilih sekolah swasta yang mungkin saja harga masuknya lebih murah dibanding uang suap tersebut.

Dari kasus ini, saya akan mengaitkannya dengan beberapa teori sebagai berikut:

  • Attachment Teory (John Bowlby)

Teori ini adalah hal pertama yang saya pikirkan saat membayangkan keadaan Ha Eun-Byeol. Anxious atau penolakan, merupakan perasaan khawatir berlebih yang disebabkan ketidak pastian atau ancaman potensial. Bagaimana gadis itu selalu khawatir dan pikiran buruk mulai muncul serta tubuh yang mulai bergerak aneh merupakan tampilan dari anxious. 

Hal itu disebabkan oleh tekanan yang ibunya berikan, dimana ibunya selalu mendorong anaknya untuk menjadi apa yang dirinya mau membuat anak dari keluarga Ha itu selalu khawatir apakah ia akan gagal lagi, sehingga khawatir yang berlebihan tak jarang muncul sebelum lomba dimulai.

anxious Eun-Byeol

  • Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)

Kaitan contoh kasus dengan teori belajar Bandura ialah ketika Ha Eun-Byeol juga ingin menjadi seperti apa yang ibunya inginkan, dimana dulunya juga seorang penyanyi orkestra, teman-temannya juga seorang penyanyi orkestra yang saat lomba mereka tak pernah terlihat ragu dan selalu percaya diri.

Gadis itu selalu ingin menjadi seperti ibu dan teman-temannya, namun selalu gagal karena terlalu banyaknya beban pikiran membuat ia lagi-lagi ragu sebelum tampil dan mengacaukan penampilannya sendirri di atas panggung.

  • Operant Conditioning (BF Skinner)

Dalam teori ini, berhubungan erat dengan hubungan ibu dan anak dalam keluarga Ha itu. Sebenarnya, sang ibu bisa saja memberikan seebuah reward setelah sang anak tampil walaupun gagal untuk memotivasi anak untuk tetap maju. Namun yang ibunya berikan hanya berupa punishment dengan reward berupa perkataan untuk memotivasi sang anak, namun tetap di jalan yang salah (memanipulasi anak dengan kejahatan).

Mengapa menurut saya hal itu sebuah reward? Karena rewarding dalam teori ini adalah untuk memotivasi anak untuk tetap melakukan kegiatan yang diminta secara terus-menerus.

  • Teori Vygotsky

Dengan teori ini, lebih mendekat kepada faktor budayanya. Dimana pengaruh budaya dalam teori milik Vygotsky memiliki pengertian bahwa anak tumbuh dan memiliki moral dari lingkungan sekitar tempat ia tumbuh. Di dalam contoh kasus, Eun-Byeol sedari kecil sudah tumbuh di lingkungan yang penuh ambisi, ia sudah terbiasa sedari kecil meenerima penekanan berlebih yang diberikan oleh ibunya. Sehingga yang tadinya anak itu dapat tumbuh normal selayaknya anak sepantaranya, menjadi tertutup, terkadang melakukan tindak kejahatan yang sama seperti ibunya, bahkan saat Eun-Byeol mencapai batas kewarasannya, ia dapat mengancam balik sang ibu. Dengan teori ini, bisa saya katakan bahwa Cheon Seojin merupakan contoh ibu yang buruk bagi anaknya.

Walaupun contoh kasus yang saya berikan merupakan sebuah drama yang mungkin beberapa orang berpikir jika tidak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Mereka salah, di dunia nyata malah lebih banyak yang lebih kejam, demi ambisi dan ego orang tua mereka rela mengorbankan kesehatan mental anaknya sendiri. Terutama di masyarakat kita yang minim pendidikan psikologi bagi orang tua, membuat mereka melakukan segala cara yang terpenting mereka sekeluarga dapat bangga dengan pencapaian anak yang ditempuh dengan jalur kotor. Marilah kita sebagai orang tua mulai peduli dengan psikologis anak, mau anak, walaupun nantinya tak sejalan, pasti ada jalan keluar yang dapat diterima oleh anak maupun orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline