Lihat ke Halaman Asli

"Tradisi Molunggelo" Adat Gorontalo Ditinjau dari Antropologi Kesehatan

Diperbarui: 10 Mei 2023   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Lulunggela, peralatan utama tradisi Molunggelo (Sumber: Museum Prov. Gorontalo, https://museum.gorontaloprov.go.id/) 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan karena mempunyai budaya yang beraneka ragam ini, masyarakat Indonesia memiliki budaya atau cara pandang yang berbeda-beda terhadap suatu hal, salah satunya adalah kesehatan. Dalam antropologi kesehatan, kita bisa belajar bagaimana budaya masyarakat mempengaruhi kesehatan masyarakat itu sendiri dan bagaimana masyarakat mencegah dan menghadapi penyakit.  

Gorontalo merupakan salah satu wilayah yang ada di Indonesia yang memiliki bermacam-macam budaya yang masih terjaga, hidup, dan dilaksanakan oleh penduduk atau masyarakat sebagai pemiliknya. Tentu saja budaya yang ada di Gorontalo tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang dianggap mempunyai peran dan makna baik bagi kesehatan masyarakat setempat yang mempercayainya. Salah satu budaya yang masih dipelihara dan dilaksanakan serta dianggap baik dalam aspek kesehatan oleh masyarakat Gorontalo adalah tradisi Molunggelo atau naik ayunan pertama bagi bayi yang baru lahir.

Gorontalo memiliki tradisi naik ayunan pertama bagi bayi yang baru lahir. Tradisi ini tak lepas dari wujud kasih sayang dari keluarga usai tali pusat sang bayi jatuh, tradisi ini dikenal dengan nama “Molunggelo”. Dahulu kala, untuk menjaga bayi agar lebih aman orang tua memilih ayunan sebagai wadah atau tempat untuk menidurkan anak dan untuk tempat bermain anak. Posisinya yang tak langsung bersentuhan dengan lantai, membuat sang bayi aman dari gangguan hewan seperti serangga, kucing, dan hewan lainnya.

Dalam prosesi pelaksanaan tradisi molunggelo terdapat syair dan atribut adat yang digunakan dalam pelaksanaannya. Syair dan atribut adat tersebut memiliki makna dan nilai-nilai tertentu yang dipercaya baik menurut kepercayaan masyarakat Gorontalo. Syair yang dimaksud dalam hal ini adalah lafalan doa-doa yang dilafalkan atau dituturkan oleh hulango (bidan kampung) pada saat pelaksanaan adat tersebut berlangsung, yang terdiri dari lafalan saat akan dimandikan, lafalan pada saat bayi akan diayunkan ke buaian atau Lulunggela, dan terakhir pada lafalan yang dilafalkan hulango saat hendak menaburkan beras lima warna. Sedangkan pada atribut adat, selain Lulunggela (ayunan) sebagai peralatan utama, terdapat pula atribut adat lainnya yang terdiri dari seperangkat hulanthe (telur, cengkeh, pala, lemon swanggi, koin, dan beras), ayam 1 pasang (betina dan jantan), dan seperangkat baki (polutube, segelas air dan kemenyan atau alama’). Semua atribut adat tersebut sering digunakan oleh para orang tua dahulu dalam melaksanakan tradisi adat Molunggelo. Oleh karena itu, untuk menghormati dan mempertahankan budaya adat Molunggelo, sampai saat ini masyarakat Gorontalo masih menggunakannya dalam pelaksanaan Molunggelo anak pertama hingga anak terakhir.

Molunggelo (mopota’e to lulunggela) yang artinya menaikan bayi pada buaian (ranjang ayunan bayi yang disebut Lulunggela atau Bue-Bue), dan juga sebagai pernyataan kasih sayang dengan perawatan perlindungan fisik serta kesehatan bayi ini memiliki banyak manfaat bagi sang bayi. Adat molunggelo ini bertujuan untuk melindungi kesehatan fisik sang bayi dari gangguan gigitan nyamuk.

Mengayun bayi di dalam buaian atau Lulunggela (ayunan) juga sangat efektif dilakukan untuk menenangkan bayi pada saat bayi rewel, hal ini karena Lulunggela atau ayunan dapat membantu mengurangi perasaan kurang nyaman pada bayi. Selain itu, Lulunggela (ayunan) ini mampu mengatasi bayi yang susah tidur, sehingga waktu tidur bayi akan jauh lebih berkualitas dan maksimal. Lulunggela pada bayi atau pada anak dapat merangsang otak kecil pada bayi atau anak, terangsangnya otak kecil ini akan meningkatkan daya kognitif bayi secara otomatis. Daya kognitif bayi merupakan kemampuan atau cara bayi dalam mengingat, berpikir, dan memahami. Walaupun terlihat aman dan baik untuk bayi, Lulunggela sebaiknya tidak dijadikan sebagai tempat tidur permanen sang bayi. Lulunggela (ayunan) mesti digunakan dengan batasan waktu tertentu dan dengan tujuan yang jelas, seperti mengalihkan perhatian bayi atau untuk menenangkan bayi pada saat orang tua perlu beristirahat sebentar.

Penulis:

Anak Agung Ratih Eka Putri

Siti Alwiyah Ibrahim

Dra. Mardia Bin Smith S.Pd M.Si




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline