Lihat ke Halaman Asli

Ayah

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ayahku, ayah juara satu seluruh dunia.

kontan saja mataku memerah dengan sendirinya mendengar narasi puitis film Sang Pemimpi di atas. seiring berjalannya waktu dan bergulirnya adegan, mataku semakin memerah.

kenapa? karena menurutku ayahku juga ayah juara satu seluruh dunia. bukan andrea hirata saja yang punya ayah juara satu.

ayahku persis sekali seperti sang ayah dalam film itu. sedikit berbicara. sederhana. bagi anaknya yang absurd sepertiku, ayahkulah pahlawan dan pejuang realita. pelitaku ketika alam surreal lagi-lagi menjebakku.

ayahku juga punya baju istimewa yang hanya dipakai untuk acara-acara istimewa. tapi baju ini bukan baju safari empat saku. baju istimewa ayahku adalah baju batik. dan sama seperti ayah andrea hirata, ayahku memakai baju istimewanya di setiap waktu pembagian raportku. setiap waktu.

setiap datang mengambil raportku pula ayahku tidak banyak bicara. biasanya hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum indah saja setiap diceramahi wali kelasku perkara nilai-nilaiku yang tak kunjung lulus ambang ketuntasan. anak yang absurd ini lagi-lagi terharu, lagi-lagi terheran-heran. mengapa beliau tidak segera mendampratku? setidaknya, kenapa senyum yang senantiasa menggantung di wajahnya yang rupawan, bukan rengutan tak suka melihat prestasi anaknya yang buruk seburuk muka anak itu sendiri?

usai mengucapkan salam dan terima kasih kepada wali kelasku, ayah selalu tersenyum padaku. oh ya, belum kuceritakan bukan kalau ayahku luar biasa tampan? senyumnya di wajahnya yang tampan itu menambah-nambah rasa sedihku. ya ampun, ayah. alia tahu nilai alia pasti sangat mengecewakan, tapi kenapa engkau tersenyum saja? jujur saja, aku lebih suka kalau ibu yang mengambil raportku. kalau ibu yang mengambil, beliau pasti mengomel-ngomeli aku habis-habisan setelah melihat nilai bututku yang berderet di kolom-kolom nilai raport dua detik setelah beliau beranjak dari ruang kelasku. tapi ini ayah. ayah hanya tersenyum. senyum yang sama dengan senyum yang beliau tunjukkan ketika nilaiku masih begitu tinggi di menengah pertama. senyumnya masih menyiratkan rasa bangga. bangga memiliki aku sebagai anaknya. meski begitu, aku hafal betul tatapan itu. karena tatapan itu berasal dari matanya, mata yang juga aku miliki. ada kecewa yang menyelip di bola mata yang indah itu.

barulah akhirnya jelas duduk perkara bahwa ayahku sebenarnya kecewa. lantas ia bertanya mengapa nilaiku bisa begini. selagi aku tergagu-gagu mencari alasan, beliau tetap tersenyum. setelah aku selesai sibuk memaparkan alasan, beliau juga masih tersenyum. klimaksnya, beliau membelai punggungku, mengusap kepalaku, lalu berkata, “Belajar lebih giat lagi ya.”

itu saja. itu saja kata-kata yang keluar dari pria sederhana yang begitu kucintai seumur hidup itu. itu saja ungkapan yang beliau tunjukkan melihat nilaiku yang sedemikian acakabrul itu. itu saja, dan sungguh menyiksa rasanya melihat pria yang aku cintai seumur hidup hanya menahan-nahan amarah dan kekecewaan yang telah anaknya hadiahkan untuknya.

sebentar lagi, hari pembagian raport tiba. aku takut, begitu takut kejadian di atas akan terulang lagi di gedung baru SMA Negeri 3 Bandung, tepatnya di kelas yang terletak tepat di tengah-tengah gedung tersebut. ya Allah, satu semester ini hamba telah bekerja keras demiMu, demi hamba sendiri, dan tentu terlebih lagi bagi ayah yang amat kucintai ini. ketika hari itu tiba, berikanlah ia hadiah yang sepantasnya diterima ayah juara satu seluruh dunia. amiiiin.

p.s. i post this as fiction. but, i want you to know that this ain't any fiction. this is the sweetest truth in my life :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline