Lihat ke Halaman Asli

Alya Faradillah

Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Fenomena Fast Fashion dan Dampaknya Terhadap Lingkungan

Diperbarui: 2 Juni 2023   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era modernisasi saat ini, tuntutan akan kebutuhan fashion terus menerus berubah mengikuti tren yang cepat. Modernisasi memberikan pengaruh yang cukup besar kepada masyarakat mengenai mode. Tren mode yang berubah dengan cepat menyebabkan masyarakat berlomba-lomba untuk mencari barang dengan mode terbaru. Pembelian produk fashion dengan mode terbaru menjadi ajang bagi masyarakat untuk mengekspresikan diri atau bahkan sebagai ajang untuk menunjukkan status sosial dalam masyarakat. Kehadiran media sosial pun turut membuat pola konsumtif masyarakat semakin meningkat. Ditambah dengan banyaknya platform belanja online yang memudahkan masyarakat dalam melakukan pembelian.

Pola konsumtif masyarakat memberikan pengaruh yang baik bagi beberapa pengusaha industri mode di Indonesia. Hal ini menyebabkan beberapa perusahaan di industri mode semakin meningkatkan kualitas dari produk mereka agar tidak kalah saing dengan pesaingnya. Perkembangan industri mode ini tidak terlepas dari tren yang berganti dari waktu ke waktu. Perubahan tren yang cepat menyebabkan munculnya konsep ready to wear dalam industri fast fashion. Fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil dengan berbagai model fashion yang silih berganti dalam waktu singkat. Sedangkan Ready to wear mengimplementasi bentuk tren fashion nasional dan internasional dengan harga yang lebih murah dan mudah didapatkan serta diproduksi dalam jumlah yang banyak. Hal ini menyebabkan banyaknya produk mode yang harus diproduksi serta dijual dengan cepat kepada masyarakat yang terobsesi dengan tren terbaru. Banyaknya produk mode yang harus diproduksi dapat menimbulkan dampak buruk pada lingkungan. 

Di balik harga jualnya yang murah, nyatanya ada harga sangat mahal yang harus dibayar oleh lingkungan sebagai dampak dari fast fashion. Industri fast fashion bertanggung jawab terhadap sekitar 10% dari total emisi karbon di dunia, bahkan diperkirakan akan mengalami peningkatan sampai 50% di tahun 2030.  

Salah satu dampak yang ditimbulkan dari fast fashion ini yaitu dapat menimbulkan pencemaran air. Demi mendapatkan bahan yang lebih murah dan dapat diproduksi dengan cepat, industri mode sering mengabaikan bahayanya bahan kimia yang terdapat dalam produk mereka. Misalnya, pemberian warna pada pakaian, memberikan cetakan gambar, dan finishing produk biasanya menggunakan bahan kimia yang mengandung racun. 

Bahan pakaian yang paling umum digunakan dalam industri fast fashion adalah poliester. Bahan-bahan ini menjadi sumber utama karena membutuhkan biaya yang murah untuk diproduksi. Jika dibandingkan, harga poliester hanya setengah dari harga kapas. Poliester dibuat dengan bahan dasar plastik dan plastik terbuat dari minyak bumi. Sayangnya saat dicuci kain poliester akan mengeluarkan microfiber yang dapat menambah kadar plastik di laut. Microfiber yang sulit diurai akan memberikan pengaruh yang buruk bagi makhluk hidup. Makhluk kecil seperti plankton akan mengkonsumsi microfiber tersebut dan akan menjadi rantai makanan yang berujung pada manusia.

Tidak berbeda dengan serat sintetis, katun pun turut berperan dalam kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan budidaya kapas di seluruh dunia menggunakan pestisida non-organik yang memiliki sifat berbahaya. Penggunaan pestisida bertujuan untuk mengendalikan hama sehingga petani dapat menghindari kerugian dan meningkatkan efisiensi produksi. Diperkirakan bahwa menanam kapas membutuhkan 200.000 ton pestisida dan 8 juta ton pupuk sintetis setiap tahunnya. Penggunaan pestisida berbahaya ini dapat menyebabkan berbagai dampak berbahaya, mulai dari menurunkan kualitas tanah, menimbulkan risiko kesehatan pada petani, hingga mencemari perairan. 

Banyak diantara masyarakat yang menyumbangkan pakaian bekas mereka. Namun, menyumbangkan pakaian lama untuk amal hanya memberikan sedikit dampak dalam mengurangi limbah tekstil. Menurut Council for Textile Recycling, hanya 20% dari pakaian yang disumbangkan terjual di toko amal. Pakaian yang tidak dibeli akhirnya berakhir ke pendaur ulang tekstil. Pendaur ulang ini menjualnya dalam jumlah besar sebagai kain parut untuk keperluan industri (yang pada akhirnya akan ditimbun), atau mengirimkannya ke negara-negara berkembang. 

Pada akhirnya, dibutuhkan peran produsen dan konsumen untuk saling bekerja sama dalam mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh fast fashion.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline