Lihat ke Halaman Asli

Alya Fadhilah

Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Airlangga

Fenomena Impulsive Buying di Kalangan Remaja

Diperbarui: 26 Desember 2024   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Impulsive Buying (belanja secara impulsif) adalah ketika sesesorang membeli sesuatu tanpa mempertimbangkan dan berpikir dua kali. Beberapa orang mungkin akan merasa susah untuk berhenti melakukan impulsive buying, terutama remaja. Korteks prefrontal pada otak remaja belum sepenuhnya berkembang, sehingga dapat memengaruhi pengendalian impuls dan pengambilan keputusan. Setidaknya ada empat kemungkinan penyebab dari impulsive buying di kalangan remaja seperti, Fear of Missing Out (FOMO), pengaruh digital, diskon dan promosi, dan kurangnya literasi keuangan.

 

Remaja biasanya merasakan FOMO ketika mereka melihat beberapa temannya memiliki 'sesuatu' yang mereka tidak punya atau ketika mereka melihat influencer memamerkan barang-barang trendi di media sosial. Lalu berpikir bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang orang lain punya. Padahal itu bukan sesuatu yang mereka butuhkan, melainkan sesuatu yang mereka inginkan. Keinginan untuk menyesuaikan diri atau mengikuti perkembangan tren terkini dapat mengarahkan mereka untuk melakukan pembelian cepat yang tidak direncanakan, meskipun mereka tidak membutuhkan barang tersebut atau tidak mampu membelinya. Pada akhirnya, FOMO dapat mendorong remaja untuk memprioritaskan kepuasan sesaat dibandingkan pengambilan keputusan yang bijaksana, sehingga dapat berkontribusi terhadap kebiasaan belanja yang tidak sehat.

Sekarang kita hidup di era digital, kebanyakan remaja memiliki media sosial dan termakan pengaruh digital. Ketika para remaja menjelajahi isi beranda media sosial, mereka dapat mengonsumsi konten influencer yang mendukung tren gadget, fesyen, dan kecantikan terkini, menjadikan barang-barang tersebut tampak menarik dan penting untuk penerimaan sosial. Integrasi fitur belanja yang mudah dan lancar di aplikasi seperti Instagram dan TikTok memudahkan para remaja untuk melakukan pembelian dengan cepat, yang seringkali dilakukan tanpa banyak berpikir. Pengaruh digital ini dapat memicu impulsive buying, karena remaja merasakan tekanan untuk membeli barang tersebut saat itu juga demi mengikuti tren atau menyesuaikan diri dengan teman sebayanya.

Banyaknya diskon dan promosi yang bertebaran di media sosial semakin memudahkan para remaja dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal ini dapat menyebabkan mereka melakukan impulsive buying yang nantinya akan membuat mereka menyesali pilihannya. Dengan harga yang turun drastis, remaja menjadi lebih lega dalam membelanjakan uangnya. Awalnya mereka mengira dengan adanya diskon akan membuat mereka lebih untung, namun mereka malah sering melupakan tujuan mereka dan akhirnya membeli banyak item karena harganya sedang diskon. Paparan diskon dan penawaran promosi yang terus-menerus ini dapat menyulitkan para remaja untuk menahan keinginan mereka untuk berbelanja, sehingga dapat mengarahkan pada siklus impulsive buying yang dapat berdampak jangka panjang pada kebiasaan finansial mereka.

Literasi keuangan juga sangat penting untuk mengatur perilaku impulsive buying di kalangan remaja. Remaja yang masih kurang melek finansial cenderung tidak peduli dengan uang yang dibelanjakannya, sehingga dapat menyebabkan mereka mengambil keputusan belanja yang buruk tanpa memahami konsekuensi yang akan mereka hadapi sepenuhnya. Ketika mereka tidak peduli dengan uang yang mereka keluarkan, mereka tidak akan menyadari kapan uang mereka akan habis. Dan ketika mereka menyadarinya, maka akan terjadi kekacauan dalam pengendalian keuangan. Tanpa pemahaman yang kuat tentang penganggaran, tabungan, atau perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, mereka mungkin akan secara impulsif membeli barang-barang yang tidak mampu dibeli atau tidak terlalu mereka butuhkan.

Kesimpulannya, impulsive buying di kalangan remaja merupakan sesuatu yang sulit dihentikan. Cara menghentikannya adalah dengan menghentikan atau kontrol diri dan membuat daftar kebutuhan. Kita juga harus mengetahui apa prioritas kita dan mengetahui cara mengelola uang secara efektif. Jika kita bisa melakukan hal-hal ini, kita tidak akan menyesal di kemudian hari dan keuangan kita akan stabil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline