Lihat ke Halaman Asli

Alya Yumna

studying at sultan agung university

Kebijakan Hukum Cambuk di Aceh, Masih Relevan Kah di Zaman Sekarang?

Diperbarui: 17 April 2023   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam hukum pidana sendiri, ketika orang melakukan perbuatan melawan hukum maka akan dihukum sesuai dengan pedoman Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lain halnya dengan salah satu provinsi di Indonesia, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam yang hingga saat ini masih berpedoman pada Qanun Aceh untuk memberikan sanksi bagi warganya yang melanggar syariat Islam. Seperti yang tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Aceh merupakan bagian dari NKRI dengan adanya keistimewaan dan otonomi khusus. Salah satunya adalah berhak melaksanakan syariat Islam dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan dan kepastian hukum.

Sanksi yang terdapat pada Qanun Aceh sendiri, selain hukuman penjara juga yang paling utama adalah hukuman cambuk. Hukuman cambuk telah digunakan sebagai hukuman untuk serangkaian tindakan yang dianggap kriminal menurut peraturan daerah, termasuk menjual minuman beralkohol (khamar), judi (maisir), zina, dan berduaan dengan lawan jenis yang bukan pasangan atau kerabat (khalwat). Berdasarkan riset, terdapat 233 orang yang dikenakan hukuman cambuk sepanjang tahun 2022 (267 orang di tahun 2021, dan 254 orang di tahun 2020). Pelanggaran yang paling banyak menerima cambukan adalah hubungan seks konsensual di luar pernikahan, berduaan dengan lawan jenis, dan berjudi.

Baru-baru ini sempat viral di media massa adanya video hukuman cambuk pelaku terpidana zina di Aceh yang dicambuk 100 kali di hadapan khalayak ramai. Baik pelaku laki-laki maupun perempuan mendapatkan hukuman yang sama. Tak hanya rasa sakit yang didapat, namun juga rasa malu luar biasa karena hukuman cambuk tersebut dilakukan dihadapan umum. Meskipun telah menyelesaikan hukuman cambuk 100 kali, pihak perempuan pun tidak sanggup dan sempat pingsan sehingga dibawa ke tim medis yang telah tersedia. Sedangkan pihak laki-laki dapat menyelesaikan hukuman 100 kali cambuk hanya dengan menahan malu dan meringis menahan rasa sakit.

Dari adanya hukuman cambuk yang terdapat pada Qanun Aceh sejatinya mendapat pro dan kontra dari banyak orang. Jika ditelaah dari segi Hak Asasi Manusia sendiri, sejatinya dinyatakan bahwa semua bentuk hukuman fisik telah dilarang oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB. Namun bila ditelaah menurut perspektif para ahli terkait penerapan hukum cambuk, dalam Qanun Jinayah disebutkan bahwa tujuan dari hukuman tersebut bukanlah untuk menyiksa seorang manusia. Namun berfungsi sebagai pembatas bagi masyarakat agar tidak melanggar norma yang sudah disepakati. Relevan atau tidaknya dengan zaman sekarang sejatinya tetaplah relevan. Mengingat saat ini telah banyak muslim yang menormalisasi pelanggaran syariat islam. Namun dengan adanya hukuman ini, diharapkan dapat menekan angka kriminalitas dan permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan saat ini karena hukuman yang diberikan tidaklah ringan.

Ditulis oleh :

Alya Yumna Noernantyo (30302000037)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline