Sudah tidak asing lagi bagi kita baik melihat ataupun mendengar laporan dan kasus atas kekerasan maupun pelecehan yang dialami oleh wanita. Tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi mereka. Baik di ruang umum, media sosial, sekolah, ruang kerja, bahkan rumah sendiri bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual. Pakaian yang mereka pakai, terbuka atau tertutup tidak menjadi penentu atas kemungkinan mereka untuk dilecehkan. Namun, seringkali media mengekspos korban pada berita yang mereka unggah, sehingga menimbulkan opini mengena korban yang menjadi penyebab terjadinya kasus tersebut. Pada akhirnya, korban selain mengalami trauma akibat dari tindak kekerasan/pelecehan, mereka juga harus menanggung sanksi sosial yang tidak seharusnya mereka dapat.
Selain itu, di zaman sekarang di mana teknologi Artificial Intellegent (AI) dapat diakses semua orang dengan gawai yang mereka miliki. Terdapat banyak kasus di mana para wanita mendapati foto wajah mereka yang sudah diedit sedemikian rupa menggunakan AI menjadi foto yang tidak senonoh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, tidak jarang juga foto tersebut digunakan sebagai ancaman pada korban sehingga korban terkadang merasa tidak memiliki pilihan dan menuruti kemauan pelaku. Hal ini membuat perempuan tidak dapat merasa aman bahkan di akun pribadi media sosialnya. Hanya dengan foto wajah yang lalu diubah menggunakan AI oleh orang jahat, dapat mencoreng nama baik perempuan tersebut.
Menteri PPPA menjelaskan kekerasan terhadap perempuan usia 15-64 tahun menurun dari 9,4 persen pada 2016 menjadi 6,6 persen di 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan terhadap anak-anak yaitu anak laki-laki, prevalensi turun dari 61,7 persen pada 2018 menjadi 49,83 persen, dan untuk anak perempuan dari 62 persen menjadi 51,78 persen. Kondisi ini menurut Menteri PPPA menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak telah berjalan dengan baik (Kemen PPA, 2024). Walaupun persentase menurun, kasus kekerasan maupun pelecehan yang terjadi masih sangat tinggi. Bahkan tidak jarang berakhir mengorbankan nyawa. Hal tersebut dapat terjadi akibat dari ketakutan korban mengenai stigma masyarakat sebagai korban kekerasan seksual dan hukum Indonesia yang belum cukup tegas dalam menghukum pelaku maupun melindungi korban. Terutama, apabila pelaku merupakan orang yang memiliki kekuasaan tinggi.
Menurut United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women), di seluruh dunia terdapat 1 dari 3 wanita yang telah mengalami kekerasan seksual maupun fisik. Angka ini akan jauh lebih tinggi apabila menghitung kasus pelecehan seksual yang dialami wanita. Sedangkan menurut United Nations Children's Fund (UNICEF) lebih dari 370 juta wanita yang hidup saat ini, atau 1 dari 8 wanita mengalami Tindakan kekerasan seksual sebelum menginjak usia 18 tahun. Dan apabila termasuk dengan tindakan pelecehan verbal atau melalui media sosial, angka tersebut meningkat menjadi 650 juta secara global, di mana sekitar 1 hingga 5 wanita yang menjadi korban. Yang mana tidak adil rasanya karena terkadang pelaku dilepas begitu saja karena "kurangnya" bukti.
Tak jarang pula korban yang melapor malah diterlantarkan dan disepelekan. Sehingga terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti didapati korban telah bunuh diri, korban yang balas dendam langsung kepada pelaku, atau korban yang akhirnya kehilangan akal sehatnya karena belum mendapatkan keadilan. Bahkan banyak kasus di mana perlu diviralkan terlebih dahulu baru ditindaklanjuti dan diusut. Hal seperti ini yang menjadi keresahan para wanita, di mana mereka tidak memiliki tempat aman dan hukum pun tidak memihak mereka. Lantas siapa yang membela korban? Bagaimana wanita dapat hidup dengan aman dan nyaman? Di mana hak wanita untuk hidup dengan layak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H