Lihat ke Halaman Asli

Alya Andira

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Awal Perjalanan Konflik Rusia-Ukraina serta Solusi dan Peranan Indonesia

Diperbarui: 17 April 2022   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah masa lalu adalah teori yang patut disoroti. Hal ini diperkuat dengan retorika Presiden Putin beberapa hari sebelum penyerangan. Presiden Putin mengatakan bahwa Ukraina adalah bagian lama dari Rusia. Dia juga mengatakan bahwa Rusia "dirampok" ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Dia juga menuduh Ukraina sebagai "koloni" AS. Rusia memang sudah lama mencoba ikut campur dalam politik di Ukraina, namun sejak Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014, politik di Ukraina cenderung bertentangan dengan Rusia.

Pada 1.200 tahun yang lalu, Ukraina, Rusia dan Belarusia muncul di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus, negara adidaya abad pertengahan yang mencakup sebagian besar Eropa Timur. Meskipun demikian, Rusia dan Ukraina sangat berbeda dalam bahasa, sejarah, dan politik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, presiden Rusia Vladimir Putin mengulang kembali pernyataannya soal Ukraina merupakan bagian dari peradaban Rusia, begitupun Belarusia. Namun, Ukraina memutuskan pernyataan Putin dengan membantah bahwa mereka bukan merupakan satu bagian dari Rusia. Hingga Ukraina melakukan revolusi sebanyak dua kali, tepatnya pada tahun 2005 dan 2014, yang bertujuan untuk menolak supremasi Rusia. Walaupun sudah dicegah dan dari awal Rusia telah mengingatkan agar Ukraina berhenti berusaha untuk menjadi satu bagian anggota NATO. Tetapi, Ukraina juga terus mencari jalan agar dapat bergabung Uni Eropa dan NATO.

Wall Street Journal terbit di tanggal 3 April 2022 menyebutkan bahwa lima hari sebelum serangan Putin dimulai, Kanselir Jerman Olaf Scholz meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menarik niatnya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun, peringatan itu diabaikan dan perang pun pecah. Puluhan ribu orang menjadi korban terbuang.

Rusia tidak keberatan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa (UE). Aksesi Ukraina ke NATO adalah ancaman geopolitik dan geopolitik sejati di pintu gerbang ke Rusia. Georgia, Belarus, dan Ukraina adalah negara penyangga bagi Rusia dan tidak mengizinkan ketiga negara tersebut bergabung dengan NATO. Rusia kehilangan kesabaran dan memecah setelah mendengar KTT NATO 2008 di Bucharest mengungumkan penerimaan Georgia dan Ukraina, meskipun mereka tidak menyebut waktunya.

Saat Menteri Luar Negeri AS James Baker dan pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev bertemu pada tahun 1990, kedua pemimpin sepakat bahwa NATO tidak akan memperluas keanggotaannya ke timur. Profesor Johua Shifrinson menemukan bahwa Arsip Nasional Inggris, yang diterbitkan di Der Spiegel pada 28 Februari 1991, menjadi tuan rumah pertemuan staf politik Tingkat 1 di banyak negara anggota NATO. Assistant Secretary of State untuk wilayah Eropa dan Kanada, Raymond Seitz, yang mengatakan, "NATO tidak akan memperluas keanggotaannya ke Timur, resmi atau tidak resmi. Kita tidak ingin menarik keuntungan dan mundurnya tentara Uni Soviet dari Eropa Timur." Tapi pada nyatanya, beberapa negara mantan anggota Pakta Warsawa dan negara pecahan Soviet sudah masuk menjadi anggotanya.

Putin kehilangan kesabaran dan kepercayaannya pada NATO pada KTT NATO 2008 di Bukares. Intinya, Rusia tidak mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO dengan harga berapa pun.

Solusi dan peran Indonesia atasi Konflik Rusia-Ukraina

Solusi yang sekiranya bisa membantu konflik tersebut ialah: Pertama, Ukraina memutuskan untuk menjadi negara independen. Hal ini bisa dilihat setelah ketidakinginan NATO untuk membantu Ukraina di masa yang sudah terlambat. Kedua, baik Rusia maupun Ukraina kembali ke dalam Minsk Agreement dimana bermuat beberapa peraturan baru yang bisa menyesuaikan masa setelah konflik ini. Ketiga, NATO membatalkan keanggotaan Ukraina secara sepihak walau akan menimbulkan beberapa perpecahan dan pasti tidak akan mudah.

Indonesia sebagai negara yang mendukung prinsip kebebasan dan aktivitas dalam diplomasi menegaskan konsistensinya dalam menghadapi krisis di Ukraina.

Prinsip kebebasan dan aktivitas yang didukung Indonesia tidak sama dengan posisi netral, tetapi memiliki kebebasan untuk bertindak demi kepentingan nasional. Selain itu, Indonesia berupaya tidak hanya untuk mengikuti negara lain, tetapi juga untuk menyatakan pentingnya mematuhi norma hukum internasional.

Indonesia terus menyerukan penangguhan penggunaan kekuasaan untuk memungkinkan semua pihak menyelesaikan sengketa. Indonesia juga meyakini bahwa langkah terbaik terhadap situasi Ukraina saat ini adalah dengan mengeskalasinya agar proses negosiasi bisa lebih efektif dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline