Keamanan merupakan isu yang kian berkembang dari waktu ke waktu. Pemerintah-pemerintah dunia berupaya untuk meningkatan keamanan nasionalnya dan berlomba-lomba untuk berkontribusi dalam keamanan internasional melalui diplomasi keamanan.
Diplomasi keamanan dalam hubungan internasional adalah suatu strategi yang digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan keamanan nasional maupun internasional melalui berbagai cara dan strategi. Pemimpin dunia melakukan banyak upaya untuk tetap memperkuat keamanan, salah satunya upaya Amerika Serikat dalam bentuk perlawanan terhadap human trafficking.
Kasus human trafficking dewasa ini tetap menjadi suatu urgensi yang marak terjadi dalam lingkup global. Kejahatan ini menjadi pelanggaran yang serius terhadap hak asasi manusia serta menjadi tantangan besar bagi pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil di seluruh dunia.
Terlibatnya penggunaan kekerasan, penipuan, atau pemaksaan guna mengeksploitasi manusia dengan tujuan buruh paksa atau seks komersial menjadi masalah yang berdampingan. Terdapat faktor pemicu terjadinya eksploitasi manusia seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Menurut Departemen Keamanan Pemerintah Amerika Serikat (Homeland Security), human trafficking kerap melibatkan kekerasan dan paksaan yang tujuannya adalah eksploitasi dengan tujuan yang satu, yakni untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi pelaku.
Secara umum, human trafficking atau perdagangan manusia sendiri didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang yang khususnya wanita, anak-anak dan orang yang rentan dengan ancaman, paksaan, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, hingga penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi. Ada berbagai macam bentuk eksploitasi yang marak terjadi seperti pekerja paksa, perbudakan, prostitusi, hingga kasus terburuk seperti penjualan organ secara illegal.
Hingga 23 Mei 2024, belum ada data resmi yang dirilis secara global mengenai jumlah kasus perdagangan manusia di seluruh dunia untuk tahun 2023. Namun menurut data terakhir bersumber dari Laporan Tahunan Perdagangan Manusia 2022 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada tahun 2021, terdapat 90.354 kasus perdagangan manusia yang teridentifikasi secara global.
Asia Selatan dan Tengah memiliki jumlah korban perdagangan manusia terbanyak yaitu 38.426 orang (42,57%), dilanjutkan dengan Eropa sebanyak 21.347 orang korban (23,64%), Amerika dan Negara-Negara Barat sebanyak 12.343 orang korban (13,67%), Afrika sebanyak 11.450 orang korban (12,68%), serta Asia Timur dan Pasifik dengan jumlah 6.788 orang korban (7,46%).
Sementara itu, perempuan menjadi sasaran perdagangan manusia dengan jumlah yang lebih banyak daripada laki-laki. Jumlah perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia berkisar 56.704 orang (62,77%) disusul dengan korban anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia secara signifikan sebanyak 27.518 orang (30,47%).
Selanjutnya, korban human trafficking banyak ditemukan menjadi tenaga kerja paksa yaitu sebanyak 58.287 orang (64,57%), disusul dengan eksploitasi seksual yang menjadi terbanyak kedua dengan jumlah 22.570 orang (25,01%), dengan sisanya merupakan bentuk eksploitasi yang dianggap paling parah dan tidak manusiawi seperti perbudakan dan jual-beli organ manusia.
Banyaknya jumlah angka diatas tentu hanya mencerminkan jumlah kasus human trafficking yang teridentifikasi saja. Diperkirakan jumlah korban yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat karena sifat kriminal yang tersembunyi dan belum terungkap. Melihat hal ini tentu menjadi ironi bagi masyarakat global untuk memerangi, melindungi, dan mencegah kasus perdagangan manusia.