Lihat ke Halaman Asli

Alwin Ramli Sasmita

Writter and researcher

Penerapan Pajak Perusahaan Era Kolonialisme di Indonesia

Diperbarui: 10 Maret 2022   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sumber: Digital Collection Leiden University. KITLV 49742 digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/90632

Pajak perusahaan muncul sebagai akibat adanya proses liberalisasi dengan kemunculan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Dengan adanya regulasi ini, baik pihak swasta Belanda, Cina maupun Eropa lainnya mulai membuka perkebunan di Hindia Belanda. Meluasnya pengaruh ekonomi Barat di Hindia Belanda selama zaman liberal ditandai dengan penanaman tumbuhan komoditas ekspor di perkebunan-perkebunan besar di Hindia Belanda. 

Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai mengeluarkan Undang-Undang tanggal 30 Desember 1878 yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh melalui pelaksanaan pertanian, pabrik, kerajinan, atau industri perdagangan di Hindia Belanda akan dikenakan pajak sebesar 2% per tahun (Steinmetz, 1933:83). Kemudian pada tahun 1882 mulai diberlakukan pajak kepala atau pajak perorangan yang dikenakan berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah, dan tanah, khususnya di Jawa. Hal ini tentu dapat menambah pemasukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Penghasilan pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda cenderung meningkat dari awal dikeluarkannya sampai 10 tahun berikutnya. Menurut Anne Both (1988:296), menjelang tahun 1895 secara keseluruhan penghasilan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berasal dari pajak berjumlah lebih dari 40%. Dalam melakukan pungutan pajak, umumnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mempergunakan etnis Tionghoa dewasa yang berumur di atas 16 tahun dengan memberinya gelar Kapitan. Gelar Kapitan ini merupakan sebuah gelar yang memiliki wewenang dalam melakukan penarikan pajak dan setara dengan kepala daerah pada masa tersebut. Pada tahun 1890 tercatat sebanyak 4.886 orang Cina menjadi petugas penarik pajak (Claver, 2014: 146).

Memasuki abad ke-20, mulai dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan pajak penghasilan dengan dikeluarkannya kebijakan Ordonanntie op de Inkomstenbelasting 1908 oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kebijakan ini merupakan akibat dari mulainya politik etis di Hindia Belanda yang ditandai dengan Pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 yang mulai melihat kondisi kesejahteraan penduduk pribumi di negeri koloni (Both, Journal of Southeast Asian Studies, 1980:91). Kebijakan pajak ini tertuju pada badan usaha yang melakukan berbagai kegiatan bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajak tersebut berasal dari barang bergerak maupun tidak bergerak, penghasilan usaha, penghasilan pejabat pemerintah, dan pensiunan. Pungutan pajak tersebut mulai dari 1-3% per tahun (Mustaqiem, 2014:58). Mulai abad ke-20, sudah banyak bermunculan jenis-jenis pajak di Hindia Belanda yang dipungut untuk mengisi kas negara. Hal ini disebabkan pada masa politik etis sistem ekonomi Hindia Belanda cenderung ke arah liberal. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat jenis pajak baru, yakni pajak penghasilan bisnis atau pajak perusahaan. Pajak ini pada tahap selanjutnya masuk ke dalam ranah pungutan progresif atas komoditas yang sedang laku di pasaran dunia saat itu, salah satunya adalah komoditas gula.

Setelah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menerapkan kebijakan politik etis, mulai banyak perusahaan perkebunan yang beroperasi di Hindia Belanda. Wilayah yang menjadi tujuan bagi para investor asing baik Eropa maupun Cina adalah Pulau Jawa. Pada saat itu, Pulau Jawa merupakan penghasil komoditas gula terbesar di Hindia Belanda, serta dapat mengisi keuangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara keseluruhan pada tahun 1901 penghasilan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari pajak memiliki presentase 32%, sedangkan pada tahun 1905 menurun hingga menuju angka 8% (Both, Journal of Southeast Asian Studies, 1980:103). Mengenai pajak yang dikenakan pada perusahaan gula sudah mulai berlaku ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang pajak gula pada 14 Mei 1906, yang menyatakan bahwa pungutan progresif yang diperbolehkan dari per pikul gula hanya berkisar dari 1–2%. Usulan ini sebenarnya sudah dibawa ke dalam Tweede Kamer der Staten-Generaal (Parlemen Belanda) pada tahun 1883. Namun, permasalahan ini tidak ditangani dengan baik oleh parlemen Belanda sampai tahun 1894. Pengenaan pajak tersebut bukan berdasarkan pada hasil tanaman tebu di perkebunan, melainkan pada komoditas gula yang sudah jadi atau sudah diolah dari pabrik. Sebagai akibatnya peraturan tersebut baru dikeluarkan pada tahun 1906. Pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, perusahaan gula di Hindia Belanda dikenakan pajak yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Salah satu penyebabnya adalah pada saat itu pabrik dan gudang dari perusahaan gula yang ada di Hindia Belanda dijalankan di atas tanah yang disewa dari penduduk pribumi. Hal inilah yang membuat tidak adanya pungutan atas nilai tanah bagi perusahaan yang bergerak pada industri gula dan pabrik gula hanya membayar pajak atas nilai bangunan pada perusahaan mereka




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline