Lihat ke Halaman Asli

Alviyatun

ATLM (Ahli Teknologi Laboratorium Medik) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sepucuk Surat, Media Menuangkan Rasa Menjadi Karya

Diperbarui: 27 Mei 2021   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : Bruno/Germany by Pixabay

Karya adalah hasil dari pekerjaan. Karya banyak ragamnya. Kita dapat memilih sesuai dengan minat dan bakat agar diperoleh hasil yang terbaik. Setiap orang tentu memiliki minat dan bakat, hanya terkadang kurang diolah menjadi sebuah karya.

Kondisi seseorang sangat mempengaruhi hasil sebuah karya. Seseorang yang sedang merasa bahagia semisal hati berbunga-bunga karena bertemu dengan jodoh yang selama ini dirindukannya, secara lihai menyatukan kata-kata puitis hingga menjadi sebuah karya fiksi puisi.

Seseorang yang sedang dirundung duka pun dapat melampiaskan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaannya dalam untaian kata yang mewakili suasana batinnya. Jadilah karya puisi atau mungkin sebuah cerita fiksi.

Pengalaman saya pribadi adalah ketika dahulu awal bertemu dengan calon suami, saya menuliskan rangkaian kata hingga menjadi puisi versi saya. 

Saat itu mas calon sedang berulang tahun, dan puisi itu saya persembahkan untuknya. Dalam waktu setengah malam halaman satu buku kecil hampir terisi penuh. 

Pena di jemari saya menari begitu saja mengikuti alunan rasa dalam kalbu. Hehe...namanya juga lagi jatuh cinta ya. Tak perlu berpikir keras untuk mengalirkan tsunami rasa cinta.

Setelah menikah dengan mas calon, riak-riak kecil pun terkadang menghampiri. Namanya juga masih taraf belajar menjadi istri dan dia belajar menjadi suami. Proses penyesuaian sikap, kebiasaan, perilaku, dan banyak hal tentu harus dilalui agar bisa sampai tujuan seiring sejalan dan saling pengertian.

Istimewanya, proses ini sering membuat hati remuk redam, melumer bagai coklat yang kepanasan. Situasi seperti ini memberi sinyal-sinyal pada air yang terbendung di sungai mata saya. Bahasa Jawanya saya itu moto yuyu alias mudah menangis. Kalau sudah begini lisan menjadi kelu untuk mengucap kata-kata.

Akhirnya pena pun beraksi lagi menari di atas kertas bergaris menumpahkan kekesalan dan kekecewaan, dalam bentuk surat. Saat mas suami masih tertidur, surat itu saya taruh di atas tubuhnya, dan saat terbangun dibacanya. Dalam surat itu pun tak lupa terselip permintaan maaf walau diri merasa tak berbuat salah, dengan harapan mas suami mengerti dan memahami.

Benar saja, ternyata hasil jerih payah jemari saya menggerakkan pena di atas kertas putih bergaris itu membuahkan hasil. Percampuran rasa marah, sedih, kecewa, tangisan itu ternyata menjadi bumbu-bumbu penyedap yang membahagiakan. Sepucuk surat pun menjadi media menuangkan  rasa menjadi karya.

Saya pun teringat dengan  perjuangan Raden Ajeng Kartini, beliau pun menuangkan rasa melalui surat-surat yang akhirnya menjadi sebuah karya terkenal yang terkumpul dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline