Namanya sungguh indah. Laura. Entah siapa yang memberi nama indah tersebut, dan bagaimana asal usulnya, saya belum menemukan. Beberapa kali menjelajah di google, minim sekali informasi yang saya dapatkan tentangnya.
Informasi yang saya peroleh adalah si Laura termasuk ikan laut, yang tentunya kaya akan gizi, baik untuk pertumbuhan anak-anak maupun masa pemulihan bagi yang gizi kurang. Baik pula dikonsumsi oleh usia dewasa dan lansia karena kaya protein dan rendah kolesterol.
Ia, secara tidak sengaja saya membelinya pada abang penjual ikan di depan pasar kuliner di kota kecamatan. Prinsip saya membeli ikan adalah yang miskin durinya. Karena waktunya sudah agak siang, stok ikan si abang tinggal beberapa jenis saja. Ikan lele, nila, cakalang, bandeng, tongkol, kembung, dan ikan laura (sebut si abang penjual). Entah nama latinnya apa. Sementara cumi dan udang yang saya ingini telah habis.
Saya tertarik dengan ikan Laura. Tubuhnya gempi tapi tidak terlalu keras dan tulangnya tidak banyak (lagi-lagi informasi dari si abang penjual). Dari matanya masih terlihat bening bisa dipastikan kualitasnya masih bagus.
"Coba deh bang, Laura saja 1 ekor, " pintaku, yang setelah ditimbang dan dikalkulasi harganya Rp 36.000,- dengan berat 0,9 kg.
"Bang, dipotong tipis saja ya."
Tapi kata si Abang,"Kalau tipis ndak bisa bu, karena dagingnya lunak banget."
Ya sudahlah sebisanya aja. Dan benar saja, saat dipotong dagingnya lunak banget dan pesan si Abang nanti digorengnya pakai telur, ya bu, biar tidak lengket.
"Bukan karena sudah kelamaan ya, bang?"tanyaku meyakinkan, dan si abang menjawab bukan.
Saat baru dua potongan si Abang sudah kesulitan memotong, karena takut dagingnya hancur. Melihat itu, langsung saya ambil inisiatif untuk difilet saja, dan buang duri dan kepala. Entah nanti sampai rumah mau dimasak apa belum kepikiran.
Alhasil sampai rumah ikan saya cuci dan bersihkan semua durinya, ambil meat chopper dan jadilah daging ikan halus. Saya pikir baiknya dibuat bakso saja. Setelah saya timbang ada 500 gram daging halus.