Kasus Oesman Sapta Odang (OSO) telah menjadi perhatian banyak orang serta memasuki wilayah publik, sebab Oso merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang secara politik sebagai representasi daerah. Polemik ini bermula saat terjadi pencoretan namanya pada Daftar Calon Tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh Komisi Pemilihan Umum yang dianggap melanggar peraturan KPU No 26 Tahun 2018 tentang melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD.
Aturan KPU dibuat atas keputusan Mahkamah Kosntitusi (MK) usai melakukan uji materi pasal 128 huruf I UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu terhadap UUD 1945. Dampaknya, KPU kini dihadapkan pilihan antara putusan PTUN, MA, dan MK yang saling bertentangan satu sama lain. Tidak hanya itu, MK menerbitkan peraturan No 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 menjelaskan bahwa calon DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik atau bisa dibilang rangkap jabatan.
Kasus Oso merupakan bagian dari rangkaian konsep demokrasi di mana demokrasi sebagai ruang bersama bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan tentang sebuah nilai, sebagaimana diungkapkan (Robert Michels, 1984: 46) yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak menjadi warga negara dan setiap warga negara berhak dipilih oleh siapa pun untuk menjadi pemimpin politik, tanpa ada pengecualian.
Teori tersebut dapat dimaknai bahwa keberadaan Oso sebagai pengurus partai merangkap anggota DPD RI dalam konteks demokrasi-politik mempunyai hak untuk dicalonkan untuk mengisi jabatan politik tertentu tanpa mengurangi sedikit apa pun hak politiknya.
Konflik Oso dengan KPU tidak hanya dilihat sebagai sesuatu hal yang lumrah terjadi dalam setiap kegiatan pemilu, tetapi kasus Oso Versus KPU merupakan bagian dari dinamika politik yang terjadi menjelang digelarnya pesta demokrasi baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden yang digelar pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Dinamika politik yang dimaksudkan di sini adalah sebagai akibat kegenitan politik KPU terhadap hak politik Oso membuat hak politiknya dicoret dari daftar calon tetap calon anggota DPD RI periode 2019-2024.
Patut diduga kegenitan politik KPU disebabkan oleh tarik-menarik berbagai kepentingan politik yang terjadi di lingkungan lembaga KPU, entah itu melalui intervensi politik ataupun melaui pesanan politik yang datang dari berbagai kelompok kepentingan. Meskipun KPU sudah disteril secara hukum, KPU tidak disterilkan secara politik sehingga membuka ruang sosial lain masuk ke wilayah otoritas KPU mencoba untuk mempengaruhi keputusan KPU berkaitan dengan kepentingan pemilu 2019.
Apalagi KPU pernah minta pendapat hukum sejumlah pakar hukum tata negara mencari solusi tentang kasus Oso yang diduga pencalonannya sebagai calon anggota DPD RI melanggar hukum pemilu. Tampaknya ada rasa keengganan/sikap keragu-raguan KPU untuk melakukan penegakan hukum dan penegakan keadilan politik terhadap perkara Oso.
Hal ini merupakan kondisi real politik, sebagaimana dalam penjelasan teori politik yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa politik itu merupakan urgensi dari kondisi sosial. Asumsi yang dibangun Aristoteles menunjukkan bahwa kelompok manusia terlibat dalam interaksi sosial dengan kelompok manusia lain dalam krangka relasi politik. Selain itu, setiap manusia selalu berhubungan dengan masalah politik dalam setiap kondisi yang dialaminya.
Kasus Oso bukan soal perkara kecil atau perkara besar, tetapi yang paling penting adalah bagaimana keterlibatan publik untuk mendorong KPU sebagai penyelenggaraan pemilu agar pemilu itu dapat berjalan sesuai dengan regulasi. Keterlibatan publik yang dimaksudkan itu adalah mendorong KPU tidak hanya menyiapkan kapasitas untuk mengedepankan menegakan hukum pemilu secara yuridis semata, tetapi perlu juga mendorong KPU mengedepankan kapasitas politik tanpa harus mengabaikan aspek keadilan politik.
Dalam mengelola negara tidak hanya mengedepankan soal kapasitas hukum, tetapi perlu juga mengedepankan kapasitas politik. Dalam perspektif politik, pencoretan Oso dari daftar calon tetap calon anggota DPD RI merupakan kegagalan KPU dalam menegakan keadilan politik serta negara gagal melindungi hak politik Oso.
Perjuangan Oso melalui langkah hukum pada sejumlah lembaga peradilan hukum merupakan hak yang melekat dalam dirinya yang harus diperjuangkan demi menjunjung tinggi hak dan martabat politiknya merupakan hak asasi yang melekat dalam dirinya bersifat alamiah (John Lock, 2013: 111). Selain itu, dalam rangka memperkuat persamaan demokrasi, persamaan politik, dan persamaan kebebasan politik yang tentu tidak bisa suatu hak politik dialihkan pada hak orang lain merupakan suatu keyakinan yang dipandang rasional dalam nilai demokrasi-politik.