Semenjak adanya pandemi COVID – 19 (Coronavirus Disease 2019) ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya mental health atau kesehatan mental kian meningkat. Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya (Pieper dan Uden, 2006).
Menurut Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health), ada beberapa indikator yang dapat menunjukkan bahwa kondisi seseorang secara optimal yaitu melalui fisik, intelektual, dan emosional.
Perkembangan ini juga harus didukung oleh masyarakat agar dapat berkembang secara optimal. Berdasarkan pemaparan berbagai tokoh, kemudian dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah adanya kesesuaian diri seseorang dengan lingkungan sekitarnya yang berkembang dan juga tumbuh secara positif serta matang dalam hidup individu itu sendiri, menerima tanggung jawab. Selain itu, memelihara aturan sosial di dalam lingkungannya.
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental ini mulai meningkat akibat adanya berbagai akun di platform media sosial yang mulai menyemarakkan campaign mental health.
Campaign mental health ini disemarakkan oleh berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga orang dewasa. Campaign mental health ini berisi tentang penjelasan kenapa hidup kita berharga, mental health awareness, masalah kesehatan mental di masa dewasa muda, dan masih banyak lagi campaign dengan topik pembicaraan yang menarik.
Namun peningkatan kesadaran ini juga dapat memicu sebuah pemikiran dari individu yang tidak baik, salah satu contohnya adalah self diagnose. Dikutip dari salah satu web, Self diagnose sendiri memiliki arti upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri. Menurut George Lincoln Walton, 1908 self diagnose sendiri sudah menjadi masalah yang menyita banyak perhatian pemikir sejak awal 1900-an. Self diagnose juga dapat menyebabkan tekanan emosional.
Tekanan emosional ini dapat mengacu pada keadaan emosional yang bisa ditandai dengan stress dan kecemasan berlebih yang dapat menyebabkan tingkat penderitaan pribadi yang cukup besar hinggaperilaku maldaptif yang mempengaruhi fungsi sehari – hari individu tersebut. (Moss – Morris and Petrie, 2001)
Adapan bentuk dari self diagnose seperti merasa apa yang ia alami termasuk dari ciri ciri orang depresi sehingga ia mengklaim dirinya mengalami depresi dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana sih cara kita menghindari self diagnose yang secara tidak langsung dapat berdampak pada kesehatan mental? Yang pertama kita dapat menyaring informasi apa yang kita dapat.
Yang kedua ceritakanlah apa yang kita alami kepada keluarga atau kerabat yang dapat kita percaya. Jika kita belum merasa lega atau masih merasa ada yang salah segera hubungi tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater. Jangan takut untuk mencari bantuan ke psikolog atau psikiater.
Mengesampingkan stigma yang ada dimasyarakat jika orang yang pergi ke psikolog atau psikiater disebut “orang gila”, karena orang yang memiliki kemauan untuk mencari bantuan ke tenaga profesional patut diacungi jempol. Oleh karena itu sebaiknya kita tidak mendiagnosis diri sendiri secara berlebihan agar kesehatan mental kita juga tetap terjaga.