Marno melaut setiap hari, menjaring ikan teri, melaut tiada terkira, namun hidupnya tak kaya-kaya seperti Saudagar Haji Mabrur pemilik perahu dukung yang selalu ditumpanginya ketika pergi ke tengah Samudra.
Hari-harinya sangat muram, membosankan, Istri selalu menuntut apa yang seharusnya tidak perlu dituntut, Anak kelayapan tidak tahu waktu, mabuk di perempatan seolah-olah hidup bebas merdeka. Bayaran tak selalu bisa membuat perut kenyang, kenyang pun karena makan Ikan dari sisa melaut.
Setelah melaut, dirinya pergi ke Kedai Kang Anhar, ngopi hingga subuh, Istri dan Anaknya tidak ada yang khawatir dengan kebiasaannya karena sudah lumrah, setiap hari ia lakukan tanpa memikirkan apapun yang akan terjadi maupun yang sudah terjadi.
Ia mangkrak bersama Toyan, teman melautnya setiap hari. Toyan hidup sebatang kara, tinggal sendirian, hidup seadanya, tanpa memikirkan apa-apa. Hari-harinya ia habiskan bersama Toyan untuk melaut dan mangkrak di Warung kopinya Kang Anhar.
Suatu hari, Marno bersama Toyan, berangkat melaut pukul 17.00, berbekal seadanya, tanpa membawa apapun selain parang untuk berjaga-jaga ketika terjadi sesuatu. Mesin perahu berbunyi tepat pukul 18.00, kemudian berlabuh ke tengah Samudera, menjelang senja, hingga pagi tiba.
"Ada yang aneh, namun tidak ada bukti. Hanya karena tidak ada bukti, bukan berarti itu tidak benar"...
Toyan tiba-tiba berceletuk bijak, tidak biasanya seperti itu. Marno pun membalas...
"Ngomong apa seeee, tidak biasanya dirimu seperti itu"...
Toyan pun hanya terdiam dan tidak merespon. Marno berfirasat tentang sesuatu. Namun, dirinya tidak pernah bisa memikirkannya. Toyan adalah seorang religius, meskipun dirinya sebatang kara, namun hati dan pikirannya tidak pernah sendirian. Apa yang dirasakannya, akan dia katakan lewat petuah bijak, namun sulit untuk dimengerti. Petuah tersebut adalah tanda akan terjadi sesuatu, namun tidak tau kapan, bisa saja nanti, bisa saja besok.
Sontak, Marno mengingat kejadian 7 tahun lalu....