Ketika metode perpajakan gagal menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk membiayai atau berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan, negara-negara di dunia bergantung pada pinjaman internasional untuk membiayai proyek dan program pembangunan. Pemerintah meminjam uang dari pasar modal swasta, lembaga keuangan internasional, dan negara lain untuk mendanai pengeluaran mereka, termasuk investasi untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, tingkat utang pemerintah yang berlebihan, ditambah dengan meningkatnya biaya pinjaman, lemahnya pertumbuhan dan depresiasi mata uang dapat menghambat pembangunan dan mengurangi kemampuan pembuat kebijakan untuk berinvestasi pada kesejahteraan dan kebutuhan pembangunan untuk masa depan yang berkelanjutan. Hal ini juga mengurangi kemampuan pemerintah dalam merespon tantangan baru, seperti pandemi dan bencana alam.
Besar kecilnya utang pemerintah merupakan indikator penting keberlanjutan fiskal suatu negara. Jika utang terlalu tinggi, terutama jika persentasenya terhadap produk domestik bruto (PDB), hal ini dapat mengindikasikan adanya tantangan dalam memenuhi kewajiban finansial yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian.
Dari 20 negara yang dianalisis, 11 negara memiliki rasio utang terhadap PDB melebihi 100%. Peringkat teratas adalah Jepang, yang utang nasionalnya tetap berada di atas 100% PDB selama dua dekade dan akan mencapai 255% pada tahun 2023. Jepang meminjam banyak uang, meskipun sebagian besar dalam bentuk kepemilikan antar pemerintah dengan tingkat bunga sekitar 0%. Namun, seiring dengan bertambahnya usia penduduk dengan cepat, meningkatnya beban biaya jaminan sosial dapat menyebabkan perluasan defisit fiskal di masa depan, sehingga memicu krisis utang publik. Pada dasarnya, strategi pemerintah Jepang adalah meminjam dengan suku bunga yang sangat rendah dan berinvestasi pada aset-aset yang berisiko tinggi dan memberikan imbal hasil tinggi – sebuah faktor yang menjelaskan mengapa Jepang mampu mempertahankan tingkat utang yang tinggi meskipun defisit terus berlanjut (Chien, et all-2023).
Lalu Bagaimana dengan Utang Negara Berkembang seperti Indonesia?
Menurut perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang pemerintah Indonesia hanya mencapai 39% dari total PDB pada tahun 2023, menempati peringkat ketiga di antara kelompok G20. Persentase tersebut masih jauh dibawah negara yang berpotensi mengalami perlambatan ekonomi yaitu negara dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 77%.Jumlah utang Indonesia per 31 Desember 2023 sebesar Rp. 8.144,69 triliun. Nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir 2022 (39,70 persen PDB) dan pada puncak pandemi Covid-19 di akhir 2021 (40,74 persen PDB). Rasio utang ini masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara (Kementrian Keuangan, 2024). Pada era Jokowi Utang Indonesia sebesar Rp. 5.537 triliun dari tahun 2014 sebesar Rp. 2.608 triliun hingga akhir Desember 2023. Hal tersebut artinya dalam 9 tahun terakhit, utang indonesia meningkat tiga kali lipat.
Di Indonesia komponen atau sumber-sumber utang negara berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman. Komponen dari SBN meliputi dari Domestik dan Valuta Asing (Valas) yang masing-masing dipecah lagi bersumber dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. Selain itu, utang negara dapat bersumber dari Pinjaman yaitu Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luara Negeri. Pinjaman Luar Negeri dapat bersumber dari bilateral, multirateral, comercial banks, dan suppliers.
Dari data yang diberikan oleh Kementerian Keuangan RI, utang negara Rp. 8.144,69 triliun tersebut 88,16% berasal dari SBN, lalu sebesar 16,85% dari SBN Valas, serta pinjaman sebesar 11,84%. Total utang yang bersumber dari SBN Domestik sebesar Rp. 5.808, 13 Triliun dengan rincian Surat Utang Negara sebesar Rp. 4.700.60 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara sebesar Rp. 1.107,53 triliun. Kemudian utang yang bersumber dari SBN Valas sebesar Rp. 1.372,53 dengan rincian urat Utang Negara sebesar Rp.1.034,08 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara sebesar Rp. 338,50 triliun. Kemudian utang yang bersumber dari SBN Valas sebesar Rp. 1.372,53 dengan rincian. Sedangkan total utang dari pinjaman sebesar Rp. 963, 98 triliun dengan Pinjaman Dalam Negeri sebesar Rp. 34,05 triliun dan Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp. 929, 93 triliun.
SBN merupakan surat yang mayoritas dijual ke masyarakat Indonesia. Fungsi SBN membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek, menutup kekurangan kas jangka pendek, dan. mengelola portofolio utang negara. Persentase kepemilikan SBN berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, terdiri dari Perbankan sebesar 25,84%, Bank Indonesia sebesar 19,11%, manager investasi serta asuransi & dana pensiun sebesar 21,62 %, individu sebesar 7,71%, pihak asing sebesar 14,94%, pemerintah & bank sentral asing sebesar 4,07%, dan lainnya sebesar 9,79%. Dari data tersebut bisa dikatakan mayoritas pemilik SBN adalah entitas di dalam negeri kita sendiri.
Apakah Utang Sebesar Rp. 8.144,69 Triliun Masih Wajar?
Efektvitas utang negara dapat kita analisis dengan memperbandingkan pembayaran bunga & cicilan pokok luar negeri dan penerimaan ekspor, sehingga hasilnya dapat membandingkan utang negara dengan kemampuan produktivitas negara secara keseluruhan. Makin besar angkanya kondisi utang negara semakin negatif, semakin kecil angkanya kondisi utang negara semakin baik. Jika di lihat dari grafik dibawah, rasio pembayaran utang Indonesia telah mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir artinya kondisi utang Indonesia masih baik-baik saja. Pembiayaan cicilan dan bunga utang yang menurun dapat menyebabkan penerimaan ekspor meningkat.