Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, apa kabar semuanya? Semoga semuanya diberi kesehatan dan jangan berpergian dulu yaa. Jika terpaksa untuk keluar rumah jangan lupa pakai masker, handsanitazer, dan jangan lupa untuk selalu jaga jarak yaa hehee. Meskipun kita dianjurkan untuk tetap berada di rumah, tapi bukan berarti kita kudet dengan permasalahan-permasalahan di sekitar.
Tahukah kalian, akhir-akhir ini banyak beredar kabar tentang terorisme yang menyerang berbagai tempat di tanah air kita tercinta, yang mana terorisme ini mengancam kedaulatan negara kita dengan cara meneror Mabes Polri yang terletak di Jakarta Selatan.
Tidak hanya mengancam kedaulatan negara, terorisme juga mengancam keberadaan umat beragama. Sesuai dengan berita yang saya dengar dari siaran televisi, khsusnya di Metro TV dalam suatu tayangan berita, aksi terorisme ini mengancam dengan melakukan pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan.
Nah, adanya pengeboman di depan gereja tersebut membuat para jemaat yang ingin beribadah di gereja merasa khawatir serta takut jika peristiwa semacam itu terjadi lagi. Sampai-sampai, pada hari besar umat Kristiani kemarin pada tanggal 2 April lalu, di mana bertepatan dengan peringatan wafatnya Isa Al Masih, sehingga gereja-gereja pada saat itu sudah dijaga ketat oleh satuan petugas polisi. Entah motif apa yang mereka pakai untuk menyerang berbagai tempat tersebut. Dengan demikian, dari sini banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan publik, seperti apa tujuan mereka menyerang berbagai tempat tersebut? Namun, di sini kita tidak membahas itu, kita di sini akan membahas siapa mereka sebenarnya. Ingat, "siapa mereka".
Seperti yang telah kita ketahui bahwa aksi terorisme serta pengeboman yang terjadi merupakan aksi yang banyak dilakukan di kalangan muda. Apa alasan mereka dipilih menjadi eksekutor? Inilah yang memicu timbulnya banyak pendapat publik terkait alasan tersebut. Yang pertama, alasan kalangan muda dipilih menjadi eksekutor aksi terorisme tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah karena mereka lebih energik dan lebih berani. Karena apa? Karena jelas bahwasanya kalangan muda ini berumur berkisar 17 hingga 20-an tahun, sehingga lebih energik, dalam artian mereka memiliki semangat yang tinggi. Kalangan muda atau biasa disebut generasi milenial tersebut yang terjaring dalam aksi terorisme kebanyakan merupakan remaja yang sedang mencari jati diri mereka. Dari segi mental, mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, belum terkontrol dengan baik emosi, sikap, serta tingkah laku mereka, sehingga mereka mudah terpengaruh dengan gerakan radikal yang cenderung mengarah ke terorisme. Banyak indikasi yang dapat kita jadikan acuan, remaja yang dapat dengan mudah terjaring dengan aksi-aksi terorisme semacam itu salah satunya adalah mereka yang biasanya lebih suka mengurung diri, di mana mereka adalah individu yang tidak mau terbuka dengan sesama, bahkan mereka sangat anti sosial hingga jarang sekali berinterkasi dengan yang lain. Dengan demikian, kebiasaan remaja yang tiba-tiba masuk kamar, mengunci pintu kamar, hingga suka marah-marah juga dapat dicurigai. Hal ini karena sikap-sikap itulah yang dikhawatirkan nantinya, mereka rentan akan terjerumus dalam radikalisasi seperti terorisme semacam ini. Selain itu, kurangnya pemahaman agama di kalangan pemuda dapat mempengaruhi mental mereka untuk berbuat nekad, termasuk ikut dalam suatu kelompok teroris. Para pemuda ini sesungguhnya pintar, berasal dari keluarga baik-baik dan relatif kaya. Namun mereka tidak pernah mendapat pendidikan agama pada masa kecil sehingga ajaran pertama yang masuk di kepala mereka itulah yang membekas. Yang kedua, kekurangan biaya hidup (bukan kemiskinan), sebagian besar mempengaruhi mahasiswa yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah dan jauh dari orang tua. Mahasiswa tersebut ketika datang ke kota tempat dia belajar langsung ditawari oleh anggota kelompok teroris berbagai macam bantuan keuangan termasuk tempat tinggal gratis atau murah. Hal tersebut yang membuat mereka merasa berhutang budi sehingga ketika diajak untuk masuk ke jaringan teroris ataupun radikal, para pemuda dari kalangan menengah ke bawah ini tidak bisa menolak.
Lantas, bagaimana cara kalangan muda ini dapat terjerumus dalam radikalisasi seperti terorisme? Bagaiamana cara rekrutmennya? Nah, ternyata proses rekrutmennya ialah melalui koneksi dengan memanfaatkan berbagai media sosial, khususnya melalui internet. Hal ini terjadi karena generasi milenilal sekarang ini lebih intens terhadap internet apalagi di masa pandemi ini apa-apa dilakukan melalui internet, sampai pembelajaran pun dilakukan secara daring (dalam jaringan) sehingga para provokator akan semakin mudah untuk merekrut calon-calon teroris yang bersedia melakukan aksi-aksi teror di berbagai tempat dengan tujuan-tujuan tertentu, mereka adalah kalangan muda ataupun generasi milenial ini. Misalnya saja, mereka pada mulanya menjalin hubungan khusus dengan anggota jaringan teroris, berpacaran misalnya, dan kemudian jika ingin meneruskan hubungan tersebut ke tingkat lebih lanjut, para pemuda ini dipaksa menjadi anggota jaringan teroris. Para pemuda yang terjebak ini yang berbahaya karena mereka bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan hubungan dengan anggota jaringan teroris.
Disini peran keluarga khususnya orang tua dalam mengayomi serta mendidik anaknya sangat berpengaruh pada sikap dan tingkah laku anak. Anak yang kurang perhatian dan kasih sayang orang tuanya juga akan berdampak buruk pada psikologi anak. Anak akan cenderung mengurung diri dan tertutup kepada orang tuanya. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan peran orang tua untuk lebih dekat dengan anaknya. Orang tua harus lebih memperhatikan anaknya, apa yang mereka butuhkan apa yang mereka inginkan apa yang mereka lakukan, orang tua harus tahu akan hal itu. Dengan melakukan upaya tersebut, kita berharap agar anak lebih dapat terbuka kepada orang tuanya. Apa yang mereka mau, apa yang mereka minta mungkin bisa kita penuhi tetapi dengan syarat kita seleksi dulu baik buruknya bagi mereka. Apakah sudah sesuai dan pantas dengan mereka apa belum. Tidak semua harus kita penuhi permintaan mereka, kita harus menyeleksi terlebih dahulu. Sebagai orang tua, hendaknya harus lebih hangat kepada anak dengan cara lebih dekat dan lebih perhatian kepada anak agar anak tidak merasa sendiri. Masih ada orang tuanya yang selalu men-support dirinya untuk menjadi lebih baik kedepannya. Selain itu, kita khususnya sebagai generasi muda harus pintar menyeleksi berbagai pergaulan di tengah modernisasi ini agar tidak terjerumus pada gerakan radikal termasuk terorisme. Semoga artikel ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H