Membaca berita tentang diskusi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmuwan Indonesia Internasional di Jakarta hari Senin kemarin (19 Des 2011) dengan topik "Dari Dunia untuk Indonesia", disana kita dapat melihat beberapa pembicara seperti Dr. Andreas Raharso, Direktur Global Hay Group yang bergerak dalam konsultan manajemen untuk Kabinet Presiden Obama, ada Dr. Yanuar Nugroho, salah satu dari staf akademik terbaik di Manchester Business School (MBS) di University of Manchester, ada Dr. Putu Laxman Pendit seorang peneliti di RMIT University, Australia untuk bidang manajemen informasi, ada Pak Doni Koesoema M.Ed, pemerhati permasalahan pendidikan di Indonesia alumni dari Boston College Lynch School of Education Amerika Serikat, ada Dr. Nurul Taufiqu Rochman, ilmuwan kita dari Kagoshima University, Jepang yang juga ketua masyarakat nano Indonesia, dan Prof. Dr. Eko Supriyanto, ilmuwan Malaysia yang mempunyai lebih dari 100 publikasi Internasional dan 15 patent. Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang kita miliki.
Pada kesempatan itu Menristek, Gusti Muhammad Hatta menghimbau agar ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saat ini berada di luar negeri, baik itu yang bekerja sebagai peneliti atau di perusahaan besar agar kembali ke Indonesia untuk membangun bangsa dan negara dengan kemapuan dan ilmu yang dimilikinya. Menurutnya, patriotisme dapat mengalahkan pendapatan mereka ketika bekerja di luar negeri. Dalam pandangan itu, ia mengatakan kantornya telah membuat daftar ilmuwan Indonesia yang sekarang bekerja di luar negeri sehingga pemerintah bisa membangun komunikasi dengan mereka.
Pertanyaanya? Apakah Indonesia memberikan atmosfir kondusif terhadap para Ilmuwan dan peneliti kita? Lemahnya perhatian pemerintah dan kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian adalah penyebab utama larinya para peneliti dan ilmuwan Indonesia ke luar negeri. Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri mengatakan, iklim penelitian dan penghargaan pada ilmuwan perlu diciptakan oleh pemerintah, termasuk juga stimulus kepada institusi pendidikan tinggi. Jangan sampai terjadi kontradiksi dimana stimulus pemerintah Indonesia kalah banyak dengan penawaran yang datangnya dari luar negeri.
Menurut Riza Muhida, dosen peneliti Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,seorang ilmuwan sejatinya memerlukan dukungan dana yang cukup untuk melakukan dan mengembangkan penelitiannya. Selain itu, diperlukan pula tempat untuk berkonsentrasi, sumber jurnal-jurnal ilmiah, perpustakaan, dan fasilitas untuk menambah wawasan melalui konferensi internasional. Di luar negeri semua itu mudah didapatkan. Tetapi, di Indonesia semua menjadi sulit. Banyak yang mengajukan, tapi yang menyediakan sedikit :(
Ketua Asosiasi Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), Andreas Raharso, mengatakan bahwa persaingan kedepan antar negara selain pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia juga akan terjadi persaingan. Dalam pandangan itu, ia berharap pemerintah akan mendukung penelitian dan studi, sehingga Indonesia bisa lebih unggul dalam hal sumber daya manusia. Tak mengapa bagi mereka berada di luar negeri, namun hati kita tetap untuk ibu pertiwi yaitu Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus menggalakkan penguatan penelitian di Indonesia dengan cara menaikkan anggaran penelitian, merevitaslisasi industrialisasi di Indonesia supaya tidak semu, dimana hanya sekadar pabrik dan pemasaran. Penelitian dan pengembangan di perusahaan juga mesti dikembangkan di Indonesia, bukan di negara lain dan pemerintah harus membantu supaya hasil-hasil penelitian yang ada di perguruan tinggi kita bisa disalurkan ke dunia industri yang sudah direvitalisasi tersebut. Memang harus dimulai sejak dini, namun sungguh amat lambat sekali penanganannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H