Identitas Buku
Judul : Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh
Penulis : Dr. Peter Carey
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun terbit : 2004
Jumlah halaman : xxxi + 214 halaman
Resensi Buku :
Sebagai permulaan, dalam buku ini disampaikan sejarah Kasultanan Yogyakarta. Setelah Pangeran Mangkubumi melawan Sunan Surakarta dan Belanda, beliau mempertahankan pemerintahan militer yang giat dan gesit. Mangkubumi secara sabar mengajukan keberatanya sambil memelihara harapan Kompeni Hindia Timur akan runtuh dengan sendirinya sehingga dia dapat menyatukan kembali Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sepeninggal Mangkubumi pada tahun 1792, Yogayakarta telah mapan menjadi negara yang makmur dan militer yang kuat di Jawa Tengah.
Namun, dengan naiknya Sultan Hamengkubuwana II banyak dikeluarkan kebijakan baru yang berlawanan dengan kebijakan ayahnya. Kebijakan tersebut antara lain adalah penggantian penasihat kerajaan dengan orang-orang baru yang kurang berpengalaman. Gaya pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II juga dikenal kejam. Bahkan seorang Residen Belanda mengemukakan bahwa Sultan adalah orang yang angkuh dan hanya mau menang sendiri.
Pada bulan Juli 1808, Daendels mengumumkan keputusan mengenai "etiket dan upacara" yang secara radikal memberikan kekuasaan wakil-wakil bangsa Belanda atas tanah di Jawa. Pada bulan November 1810 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh pejabat tinggi Mancanegara Timur yakni Raden Rangga Prawiradirdja yang juga ipar Sultan. Pemberontakan itu dengan mudah dipatahkan Daendels. Namun, pemberontakan tersebut telah menandakan rasa tidak suka mereka terhadap pemerintahan Bangsa Eropa.
Pada tanggal 30 Desember 1810, Sultan dipaksa untuk menyerahkan pemerintahanya kepada anaknya dan juga dituntut membayar hampir setengah juta Gulden sebagai tebusan bagi pasukan Daendels. Kemudian pada Januari 1811, berdasarkan perjanjian-perjanjian baru, sejumlah wilayah-wilayah luas Kerajaan diserahkan pada Pemerintah Pusat serta berakhirnya pembayaran-pembayaran tahunan kepada penguasa-penguasa Jawa dan hilangnya kekuasaan mereka atas makam leluhur kerajaan dan para wali. Masa jabatan Daendels meninggalkan kesan kegelisahan politik terutama di Keraton Yogyakarta. Selain itu, pembuangan Pangeran Natakusuma dan anak laki-lakinya juga sangat menyinggung perasaan Sultan tua.