Kegagalan kesepakatan antara Arab Saudi dan Rusia dalam pertemuan yang diadakan OPEC 6 Maret 2020 ditambah turunnya permintaan akan minyak selama pandemi membuat harga minyak turun drastis.
Sampai tanggal 21 April diketahui harga minyak menurut indeks kontrak berjangka West American Intermediate (WTI) menyentuh angka minus.
Angka minus dalam harga menunjukkan bahwa produsen minyak "membayar" minyak kepada konsumen. Beberapa negara terutama produsen minyak jelas mengalami kerugian besar terutama negara-negara OPEC.
Sebagian negara importir mungkin dapat menikmati turunnya harga minyak contohnya Indonesia, yang sampai hari ini belum turun-turun.
Dalam tulisan #SotoyStory saya kali ini saya akan mengaplikasikan ilmu SMA dulu tentang pemodelan sederhana penurunan harga minyak menggunakan model demand and supply. Diilhami tulisan Pak Dahlan Iskan di lamannya disway.id dan bloomberg
1. Kurva Demand and Supply Minyak
Minyak merupakan salah satu komoditas yang memiliki sifat permintaan dan penawaran yang cenderung inelastis dalam "jangka pendek", apa artinya? bahwa naik-turun harga minyak secara umum tidak mengurangi preferensi konsumen secara drastis atas pembelian minyak.
Sederhananya, dalam jangka pendek jika harga BBM naik kita tidak serta merta menurunkan konsumsi kita karena kegiatan sehari-hari membuat kuantitas pemakaian BBM "mau tidak mau" sama saja, begitu pula ketika terjadi penurunan harga BBM.
Namun dalam "jangka penjang" justru hal tersebut berkebalikan, kita sebagai konsumen dapat membeli mobil baru yang hemat bensin sehingga konsumsi BBM dapa dikurangi.
Basis awal dimulainya pemodelan kali ini ialah pandemi covid-19. Covid-19 nyatanya memberikan pengaruh yang buruk karena dalam masa physical distancing orang jarang keluar rumah, sehingga permintaan minyak turun.