Lihat ke Halaman Asli

Alvien Gusti Prasditio

Universitas Sebelas Maret

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Menggunakan Pola Agroforestri Tanaman MPTS Bernilai Ekonomi di Sub DAS Hulu Keduang

Diperbarui: 16 Juli 2024   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan FGD (Dokpri)

Lahan kritis merupakan suatu lahan yang sudah mengalami degradasi sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab terjadinya lahan kritis dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor non-alam. Beberapa faktor alam yang menjadi penyebab lahan kritis antara lain kekeringan, tergenang, dan erosi. Sedangkan untuk penyebab faktor non-alam antara lain terjadinya alih fungsi lahan, kesalahan pengelolaan, dan tercemar bahan kimia serta sampah anorganik.

Berdasarkan data BPS Jawa Tengah, jumlah lahan kritis di Kabupaten Wonogiri semakin bertambah dari tahun ke tahun. Lahan di Kabupaten Wonogiri banyak yang tergolong sebagai lahan agak kritis yaitu sebesar 952,82 hektar pada tahun 2021 dan mengalami peningkatan menjadi 89.274,8 hektar pada tahun 2022.  Sedangkan jumlah lahan kritis dan lahan sangat kritis di Kabupaten Wonogiri pada tahun 2021 adalah sebesar 197,9 dan 173,19 hektar. Pada tahun 2022 jumlah lahan kritis dan lahan sangat kritis meningkat menjadi 16.686,87 dan 5.373,13 hektar. Peningkatan luas lahan kritis yang sangat signifikan ini tentu harus segera diatasi salah satunya dengan kegiatan rehabilitasi.

Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan seperti semula dan meningkatkan fungsi dari lahan tersebut. Kegiatan ini tertuang pada PP No 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan juga akan mendukung program Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang digagas oleh PBB, terutama poin 2 terkait tanpa kelaparan, poin 6 terkait air bersih dan sanitasi yang layak, dan poin 15 terkait ekosistem daratan. Dengan upaya rehabilitasi, diharapkan fungsi lahan seperti sebagai penyedia pangan, penyaringan air, dan penyedia habitat untuk berbagai organisme dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, peran masyarakat juga tidak kalah penting. Pentingnya pelibatan masyarakat seharusnya menjadi stimulus partisipasi masyarakat dan pendorong keberhasilan rehabilitasi hutan. Salah satu peran masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan adalah dengan menanam pohon dengan pola agroforestri atau wanatani pada lahan milik sendiri. Penanaman dengan sistem agroforestri memberikan banyak manfaat salah satunya yaitu dengan adanya berbagai macam tanaman akan menghasilkan seresah yang beragam pula sehingga dapat menambah masukan bahan organik, meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran, serta mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran.

Pada tanggal 21 Mei 2024, Program Studi Pengelolaan Hutan Universitas Sebelas Maret melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait rehabilitasi lahan dan hutan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan melibatkan Kelompok Tani Hutan (KTH) Kali Genjeng di Dusun Grenjeng, Desa Girimulyo, Kecamatan Jatipurno, Wonogiri. Kegiatan FGD ini dipimpin oleh dosen Prodi Pengelolaan Hutan yaitu Prof. Dr. Ir. Supriyadi, M.P. dan Ibu Malihatun Nufus, S. Hut., M. Sc. dan dihadiri oleh anggota dan ketua KTH Kali Genjeng, kepala desa Girimulyo, serta penyuluh kehutanan dari Cabang Dinas Kehutanan X.

Pemberian bibit tanaman MPTS (Dokpri)

Kegiatan FGD dimulai dengan pembukaan dari Prof. Supriyadi dan dilanjutkan dengan pemaparan terkait pentingnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dengan penanaman tanaman Multi Purposes Tree Species (MPTS) atau tanaman multi guna oleh Ibu Malihatun. MPTS merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan bagian kayu, daun, buah, bunga, atau biji. Tanaman ini memiliki nilai ekonomi karena lebih mudah ditanam dan cepat diperoleh hasilnya. Selain itu penanaman MPTS juga memberikan manfaat ekologi yaitu beberapa tanaman yang memiliki akar tunggang dengan ukuran panjang dapat meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah atau infiltrasi serta mengurangi aliran permukaan dan mengurangi erosi. Beberapa tanaman MPTS antara lain alpukat, nangka, petai, kemiri, cengkeh, durian, kayu putih, jambu mete, dsb.

Diketahui anggota KTH Kali Genjeng sudah melalukan penanaman MPTS pada lahan milik sendiri seperti alpukat namun variasi tanaman yang ditanam belum beragam. Oleh karena itu, selain melaksakan FGD, pada kegiatan pengabdian ini juga dilakukan penyerahan bibit tanaman alpukat, petai, dan durian untuk meningkatkan variasi tanaman MPTS di Dusun Grenjeng. Kegiatan pengabdian diikuti anggota KTH Kali Genjeng dengan antusias. Salah seorang anggota KTH yaitu Bapak Sugeng menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan FGD menambah wawasan terkait rehabilitasi hutan dan lahan dan meningkatkan semangat untuk menambah berbagai variasi tanaman MPTS. 

Foto bersama Tim Pengabdian UNS dan KTH Kali Genjeng (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline