Lihat ke Halaman Asli

Alvi Anugerah

TERVERIFIKASI

Menulis jika sedang menggebu-gebu

Bagaimana Seharusnya Media Hindari Cibiran "Menjual Kesedihan"

Diperbarui: 2 Januari 2019   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi:

Media akan viral bila menjual konten tentang kesedihan. Anggapan itu terlanjur hinggap di alam sadar orang-orang yang mengkonsumsi sekaligus skeptis dengan media di waktu yang bersamaan. Dengan memuat/menayangkan cerita-cerita yang bikin haru penonton/pembacanya, media akan dapat rating bagus. Pageviews-nya naik. imbasnya, permintaan placement iklan bertambah yang berimplikasi pada pemasukan media itu. Begitu katanya siklus hidup media berputar.

Gue pernah terlibat di dalam siklus bisnis itu: jadi content maker di sebuah stasiun televisi masa kini. Bergulat dengan waktu & keadaan bagaimana kami harus menyajikan konten yang enggak cuman inspiratif, tapi juga punya nilai jual yang membuat para brand ngisi slot iklan di TV kita.  

Tapi, faktanya adalah: enggak melulu tiap konten sedih & dramatis di tv itu jadi bahan jualan kok. Salah satu buktinya adalah program dengan rating/share paling tinggi di tv tempat gue kerja saat itu adalah program reality documentary "86". Bukan program sedih-sedihan atau program yang sengaja didramatisir.

Ada pula pihak-pihak yang beranggapan kalau masyarakat di Indonesia nggak punya pilihan untuk menikmati konten-konten bermutu dan mendidik. Ada dua respon gue dari anggapan tersebut:

  1. Apa dasar & risetnya sampai bisa menyimpulkan kalo konten menyedihkan dan dramatis yang diproduksi media itu tidak bermutu dan kurang mendidik?

  2.  Nggak cuman masyarakat Indonesia yang doyan dengan konten sedih-sedihan. Survei di negara maju seperti Amerika Serikat yang pilihan kontennya lebih beragam membuktikan kalo konten dramatis & menyedihkan itu jadi konten yang memberikan dampak baik dari sisi psikologi.

    Source: theguardian.com


    Survei yang dilakukan peneliti dari Universitas Oxford (diulas di portal berita The Guardian) menyimpulkan bahwa menonton tayangan yang traumatis akan meningkatkan rasa toleransi kolektif terhadap rasa sakit. Menonton tayangan-tayangan drama dan derai air mata bahkan meningkatkan kadar endorfin yang diproduksi. Ternyata, endorfin berfungsi sebagai penghilang rasa stres dan meningkatkan perasaan bahagia. Kadar endorfin bahkan membuat seseorang merasa lebih dekat dengan orang lain.

Memang, adagium "media menjual kesedihan" itu patut jadi masukan bagi para pemangku media. Bagaimanapun, media punya tugas moral memberikan value pada setiap konten-konten yang diproduksi. Value yang berdampak langsung bagi objek yang ia jadikan konten. Value yang juga berdampak langsung bagi para pemirsa dan pembacanya. 

Bangun Kedekatan Lewat Gotong Royong Online

Source: Jarmoluk via pixabay.com

Menjadi platform bagi siapapun yang ingin menggalang dana dan berdonasi membuat kitabisa.com didatangi banyak sekali cerita-cerita menarik & inspiratif, hampir setiap hari. Cerita-cerita itu lantas kami olah menjadi sebuah konten agar orang-orang yang menyimak konten itu bisa ikut membantu penggalang dana dengan cara berdonasi.  

Tak hanya itu, cerita-cerita menarik para penggalang dana pun kami sodorkan ke media. Tak sedikit media yang merasakan cerita para penggalang dana di Kitabisa mengandung news value yang selaras dengan napas perusahaan mereka. 

Menariknya, media-media itu nggak hanya mengangkat cerita penggalang dana, tetapi juga membantu para penggalang dana supaya target donasinya tercapai dengan cara mengajak para pemirsanya untuk berdonasi. Dampaknya nggak main-main. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline