[caption id="attachment_380736" align="aligncenter" width="491" caption="koleksi @alvidhiansyah "][/caption]
Bandung yang saya sambangi kala itu (25/4) memang membuat mata pangling. Saya baru merasakan hawa dari julukan yang disematkan para tuan dan nona noni penjajah dulu: Bandung is het Parijs Van Java. Bandung adalah Parisnya orang Jawa. Meskipun tak tampak menara Eiffel di Bandung, tapi cuacanya yang konsisten dingin dan someahnya orang-orang Bandung, membuat Bandung pantas diganjar julukan itu. Terlebih, ketika sejauh mata memandang jalan Asia Afrika, kursi-kursi taman bergaya klasik, lampu-lampu trotoar dengan citarasa desain Eropa, serta hiasan berbentuk bola yang berjejer di sepanjang trotoar, membuat saya yang belum pernah ke Eropa pun berlaga merasa sedang di Eropa.
[caption id="attachment_380731" align="aligncenter" width="614" caption="Trotoar serta jalan di depan Media Center KAA. Desainnya juga tak kalah Eropanya/ Koleksi @alvidhiansyah"]
[/caption]
Setibanya di kota Paris wanna be itu, saya disambut macet. Meskipun tak terlalu pakar, saya tahu beberapa titik-titik utama macet di kota Bandung: Jalan Setia Budi, Kawasan Dago, serta jalan Cihampelas. Tapi, macet pekan ini sedikit anomali, kawasan Asia Afrika dan Braga yang jadi titik macet utama.
Orang-orang Bandung tidak mungkin heran. Perhelatan Konferensi Asia-Afrika yang jadi penyebabnya. Meskipun seremoni “Historical Walk” yang diikuti beberapa kepala Negara Asia-Afrika itu telah rampung Jumat (24/4) silam, tapi acara karnavalnya baru digelar pada Sabtu dan Minggu saat saya juga mendapatkan foto turis wanita geulis ini memakai kebaya:
[caption id="attachment_380734" align="aligncenter" width="560" caption="Bule-bule Geulis Turut Memeriahkan Karnaval Asia-Afrika/koleksi @alvidhiansyah"]
[/caption]
Setelah membelah rimba macet dengan berjalan kaki, saya tiba di destinasi: Media Center KAA yang letaknya di Gedung Perusahaan Gas Negara (PGN) jalan Braga, Kota Bandung.
Selesai bersantap siang dan menunggu waktu liputan, saya gerakkan badan untuk beranjak keluar gedung. Ingin melihat riuhnya Orang Bandung merayakan hajatan sepuluh tahunan ini. Di tengah lalu lalang orang dengan berbagai gaya dan mode pakaian, saya melihat seorang pria cukup umur dengan pakaian ngejreng matching berwarna kuning. Pria bertubuh pendek itu tampak dikerumuni orang-orang yang mengantri berselfie dengannya.
Saya tak asing melihat perawakannya. Seperti pernah melihat di mana, gitu ya…Saya hampiri saja kerumunan untuk menuntaskan rasa penasaran.
[caption id="attachment_380728" align="aligncenter" width="491" caption="Trotoar di Sepanjang Jalan Asia-Afrika. desain dan citarasanya cukup Eropa Abis/Koleksi @alvidhiansyah"]
[/caption]
Saya baru ingat. Namanya Pak Sariban. Sejauh yang saya tahu, Sariban ditemani onthel tuanya rutin berkeliling Bandung menjadi relawan sekaligus mengkampanyekan kebersihan kota. Lekas saja sebelum kehilangan momen, saya meminta foto bareng dengannya sekaligus menjadikan Pak Sariban sebagai objek liputan pertama saya.
[caption id="attachment_380737" align="aligncenter" width="369" caption="koleksi @Alvidhiansyah"]
[/caption]
Pak Sariban mendapatkan amanah khusus dari pemerintah Kota Bandung untuk menjaga kebersihan di pusat area perhelatan konferensi Asia-Afrika. Ini kali kedua bagi Sariban berkontribusi menjaga kebersihan dalam perhelatan KAA. Lahir di Magetan pada 1963 silam, Sariban telah menjadi pejuang kebersihan kota Bandung semenjak 1983. Dengan menghitung pelan menggunakan jari-jarinya yang telah keriput, dia mengatakan telah menjadi relawan melewati enam kali kepemimpinan walikota.
Saya mencoba lancang dengan menanyakan jumlah honorarium yang diterima Sariban. Berulangkali saya menanyakan untuk memastikan bahwa Sariban bakal terbuka pada saya menceritakan perihal itu, berulangkali pula saya mendapatkan jawaban: “saya kan relawan!” Perkataan beliau menyiratkan bahwa pekerjaannya menjadi relawan merupakan pekerjaan yang tak ternilai dengan rupiah. Sariban menceritakan bahwa kerja relawannya diganjar banyak penghargaan, dari pemkot sampai dengan instansi-instansi pemerintah lain. “Saya pajang penghargaan-penghargaan itu di ruang tamu,” ucap Pak Sariban dengan nada bicara nan menggelora.
“Saya pernah lihat bapak di TV, tapi TV channel apa ya, pak? Saya lupa.” Saya bertanya dengan nada sedikit berseloroh. Pak Sariban yang sepanjang wawancara tadi berbicara dengan nada keras bergelora, tiba-tiba berbisik di telinga saya: “mas nya nanti kalau pulang ke rumah cek di internet, di acara Hitam Putih.” “Oke pak, nanti saya cek,” timpal saya sembari tertawa mendengar bisikan polos Pak Sariban.
Jangan berpikir jika Sariban berasal dari golongan orang kurang mampu. Bapak dari empat anak ini adalah pensiunan pegawai sebuah rumah sakit di Bandung. Ketika ditanya perihal honorariumnya tadi, Sariban berkata bahwa ia tak membutuhkan honor dari upaya sukarelanya itu. “Alhamdulillah, saya sudah cukup mencukupi kebutuhan keluarga saya sendiri. Alhamdulillah rumah juga rumah sendiri.”
Onthel tua sariban yang hanya membawa dua tempat sampah berukuran kecil juga tak luput menjadi pertanyaan saya. “Kenapa hanya bawa tempat sampah yang ukurannya kecil, pak? Kenapa tidak yang besar sekalian?” Dengan gaya yang cukup diplomatis Sariban menjawab: Ini kan hanya simbol mas, tidak perlu bawa besar-besar, ini hanya simbol.”
Saya setuju. Sariban bukan hanya menjaga kebersihan dengan memunguti sampah di sepanjang jalan. Esensi kerja relawannya justru terletak pada atribut yang ia kenakan serta tulisan-tulisan bernada pesan yang ia bawa: Ingat! Tahan untuk Tidak Membuang Sampah Sembarangan! Berkeliling dengan onthel tuanya pun Sariban menyebarkan pesan untuk mengurangi kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi yang sarat dengan polusi.
“Kenapa mau menjadi relawan kebersihan dan tidak dibayar pak?” Sariban menjawab dengan retoris: Allah SWT. memberikan kepada kita alam semesta beserta isinya. Siapa lagi yang harus menjaga kebersihannya kalau bukan hamba-hambanya?
“Kenapa malah jadi relawan di Bandung pak? Bukankah lebih berkesan mengabdi pada kota kelahiran?”
Jawaban yang keluar dari lisannya cukup membuat salut pada bapak ini: “Saya KTP Bandung, rumah di Bandung, kerja di Bandung, menyekolahkan anak di Bandung, Ngising (buang air besar dalam Bahasa Sunda) pun di Bandung, kenapa saya tidak berbakti juga pada kota Bandung?”
Sembari membenahi posisi onthelnya, saya meminta Pak Sariban menyampaikan pesan-pesan untuk warga Bandung. Kata beliau: “Mulailah hari ini, mulailah dari hal yang kecil,dan mulailah dari diri sendiri, untuk tahan tidak membuan sampah sembarangan!
Saya menutup wawancara santai hari itu dengan selfie bersama Pak Sariban. Di tengah gegap gempita perayaan KAA, ada orang-orang yang bekerja senyap memastikan bahwa pelaksanaan acara baik-baik saja.
[caption id="attachment_380739" align="aligncenter" width="448" caption="Sejauh saya memiliki riwayat selfie, selfie dengan Pak Sariban adalah selfie pertama dengan seorang lansia/koleksi @Alvidhiansyah"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H