Lihat ke Halaman Asli

Alvi Anugerah

TERVERIFIKASI

Menulis jika sedang menggebu-gebu

Wanti-wanti Bu Astiti

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pantulan cahayanya memantul ke belakang kursi yang posisinya persis di depan saya. Kilauan-kilauannya jelas membuat mata silau jika saya gerakkan benda yang sejak 2 hari lalu ini masih melingkari leher. Benda serupa perhiasan ini bukan hanya mewah juga megah, tapi punya nilai prestise yang wah!

Saya tidak pernah berani membayangkan untuk melingkari leher ini dengan kalung emas. Ibu tidak sekalipun mengajarkan saya hidup dengan predikat mewah karena keluarga kami tidak pernah menyandang predikat tersebut. Sebagai perempuan berumur 17 tahun yang tergolong ke dalam Anak baru gede, daun telinga saya adalah daun telinga yang masih “perawan”, berbeda dengan daun telinga-daun telinga para wanita sebaya yang pastinya sudah diperawani oleh segala jenis anting emas.

Alasannya bukan karena saya adalah wanita yang masuk kategori kejantan-jantanan. Dengan potongan rambut yang nyaris hampir sepadan dengan potongan rambut para pria di SMA tempat saya bersekolah, kulit berwarna sawo yang terlalu matang karena keseringan bermain di lapangan, maupun ketiadaan rok pada tumpukan baju di lemari saya, saya masih sangat merasa pantas bila didandani ala wanita anggun nan feminin masa kini.

Justru kategori kejantan-jantananlah yang jadi sabab musabab hadirnya “perhiasan” baru yang memberatkan leher ini. Jika saya mencoba bernapaktilas, masih hapal betul saya ketika sengat sinar matahari sore sama sekali tidak merubuhkan semangat saya menonton pertandingan bulutangkis yang rutin diadakan di hampir setiap harinya di lapangan sebelah pohon beringin besar lagi rindang tempat dimana teman-teman sebaya saya bermain masak-masakan. Saya tidak melihat sisi menarik apa yang membuat teman-teman wanita saya begitu terhanyut khusyuk memotong daun-daunan, mengiris-iris lalu menggerusnya dengan batu, dilanjutkan dengan memasukkan semua adonan daun tadi ke wajan-wajanan plastik yang berada di atas kompor-komporan, lalu sembari mengeluarkan bunyi serupa api, daun-daunan tadi pun mulai dimasak. Imajinasi yang memang liar nan luar biasa. Tapi sayangnya, saya tidak suka berimaji.

Saya lebih suka menonton pertandingan bulutangkis. Melihat kelincahan bapak-bapak menggebuk kok dengan pukulan smashnya, mengakali lawan dengan dropshot tipuan,   serta antusias mendengar riuh rendah bapak-bapak ketika momentum netting muncul pada sebuah babak permainan. Merasa lebih nyaman ketimbang bermain masak-masakan.

Napak tilas berlanjut ketika kala itu usia belia saya tidak membuat laju semangat ini mundur untuk ikut bermain bulutangkis bersama bapak-bapak. Cukup bagi saya menonton keseruan mereka memukul kok bolak-balik melewati jaring yang jadi pemisah. Saya pun ingin ikut lebur dalam larutan keseruan mereka.

Dan sejak belia itu saya mulai akrab dengan bapak- bapak sekaligus menjadi skuad resmi bulutangkis bapak-bapak. Mesti kemampuan saya bermain tidak jarang hanya jadi bahan untuk memancing gema tawa mereka, tapi secara berangsur-angsur saya mulai memahami teknik bermain yang baik. Setidaknya untuk lawan yang sepantaran, tak memandang laki-laki maupun perempuan, saya patut sombong untuk berkata bahwa saya sulit untuk ditaklukkan.

Kerja keras untuk menonton bapak-bapak bermain bulutangkis, dianggap “aneh” oleh teman sebaya karena merasa lebih nyaman bergaul dengan bapak-bapak, jadi alat pemancing tawa mereka ketika bermain bulutangkis, serta sekelumit kejadian yang bisa dikategorikan sebagai langkah-langkah perjuangan ternyata membuka jalan kebahagiaan di depannya. Seperti kemudahan mendapatkan kepercayaan dari guru olahraga  pada waktu itu untuk mewakili SD saya pada perhelatan PORSENI se-kota Semarang. Dan juara. Atau ketika pada umur 13 tahun ketika saya menjadi salah satu anggota dari kontingen bulu tangkis yang mewakili kota Semarang untuk bertanding di tingkat provinsi. Dan juara lagi. Terlebih ketika 2 tahun kemudian untuk pertama kalinya saya melihat semburan rasa bangga bin tidak percaya dari wajah bapak-bapk ketika saya memamerkan piagam penghargaan sebagai pertanda juara I bulutangkis tingkat nasional.

Indah memang. Semuanya terasa seperti mengalir dan terencana. Semua rangkaian itu terasa sampai pada klimaksnya saat ini. Medali emas yang saya kalungkan setelah memenangkan kejuaraan dunia bulutangkis yunior putri U-19 adalah klimaksnya. Terlebih yang saya kalahkan adalah pebulutangkis asal Malaysia, negara tetangga yang dianggap musuh bebuyutan oleh kebanyakan rakyat di negeri ini. Padahal, saya adalah salah satu dari segelintir orang yang gemes tatkala melihat orang-orang di sekitar saya mengerahkan nafsu membabi buta dari rongga mulutnya untuk menghina Malaysia. Buang-buang tenaga saya rasa. Tidakkah ada yang bisa mereka lakukan untuk menunjukkan bahwa negeri kita dengan segala kelebihannya memang unggul di atas Malaysia? Seperti yang baru saya saja lakukan 3 hari lalu.

3 hari lalu adalah hari terakhir dari rangkaian mimpi jadi kenyataan yang saya lakukan. Pergi ke luar negeri! Kejuaraan bulutangkis yang dihelat di Inggris itu membuat saya jadi orang kedua di kampung yang berhasil pergi ke luar negeri setelah pak Wiyono pergi naik haji tahun kemarin. Ini pengalaman tak terlupakan bagi saya. 2 hari mengitari kota London dan mengunjungi berbagai tempat semacam Westminister abbey serta menara London. Menikmati panorama kanan kiri dari sisi sungai Thames, salah satu sungai terpanjang di Inggris. Seketika saya langsung membayangkan jika keindahan sungai ini ajaib muncul di sepanjang banjir kanal timur Semarang, Hal serupa pun saya imajinasikan ketika terpukau melihat keagungan  stadion Wembley. Andai stadion Jatidiri berbentuk demikian, khayal saya sendiri.

Tidak lupa saya meminta waktu sedikit kepada pemandu wisata untuk berfoto di depan stadion Emirates, stadion kebesaran dari tim sepakbola jagoan saya, Arsenal. Saya berjanji sepenuh hati akan memamerkan foto ini kepada gerombolan teman lelaki di kelas yang tak pernah henti mengolok-olok tim sepak bola pujaan saya sendiri.

Saya beserta tim rombongan beristirahat sejenak di taman St. James, taman yang latar belakangnya adalah istana Buckhingham. Keindahan negeri dongeng yang terlukiskan pada setiap penempatan latarnya bisa saya rasakan sendiri di tempat ini. Hingga di penutup perjalanan kami bersama rombongan menyempatkan diri untuk shopping di Harrods Departement Store. Serupa dengan mall Citraland di kawasan Simpang lima Semarang, tetapi beratus-ratus kali lipat kemewahannya. 

Tidak ada satupun kepingan-kepingan kejadian yang tega saya lupakan selama berada di London beberapa waktu lalu. Terlebih rangkaian pertandingannya yang menobatkan diri saya sendiri sebagai atlet wanita yang patut dikalungkan medali emas di lehernya. Saya masih ingat ketika pada penyisihan pertama harus berhadapan dengan lawan berat dari Afrika Selatan. Belum pernah sebelumnya saya melihat wanita bertubuh berat berkulit hitam seperti dia. Sangat hitam. Saya yang hampir setiap harinya mendapat julukanwereng, (singkatan kata dari wedhoan ireng) karena saya adalah wanita dengan pemilik kulit paling hitam di kelas patut berlega hati karena masih ada kulit dengan level kehitaman lebih tinggi di atas saya.

Penyisihan kedua dan ketiga pun dengan mudahnya saya lewati. Kali ini lawan-lawan dari benua Eropa yang saya hadapi. Mereka dengan sempurnanya membuat saya minder setengah mati. Selain karena faktor warna kulit yang diibaratkan kopi dengan susu, Atlet-atlet bulutangkis dari Eropa itu memakai paduan busana kaos dipadu rok yang begitu aduhai nan seksi. Tapi itu tidak membuat mereka semua mampu mendikte permainan saya.

Tekanan mental berlebih saya alami pada saat memasuki fase perempat final. Bagaimana tidak, lawan yang saya hadapi adalah atlet tuan rumah. Walaupun memang saya tidak mengerti sorakan-sorakan macam apa yang keluar dan terdengar oleh telinga yang asalnya dari penonton yang hampir pasti kaum pribumi, tapi setidaknya saya paham bahwa bunyi “wuuuuuu” yang keluar dari mulut-mulut mereka adalah bunyi untuk meruntuhkan mental saya. Tapi tak sedikitpun itu berpengaruh pada performa permainan saya.

Lawan semifinal lebih berat lagi, siapa yang tidak kenal dengan Cina yang punya tradisi agung dalam masalah olahraga tepak menepak bulu yang yang dinamakan kok itu. Terlebih perjuangan 3 set harus saya lewati untuk mengalahkan lawan lincah dari Cina yang parasnya sangat mirip dengan teman sebangku saya, Cici. Sampai akhirnya saya masuk final dan mengalungi medali emas yang sedari momen penyerahan medali belum saya lepas sama sekali, hingga saat ini.

∞∞∞

Dari segmen-segmen pengalaman yang saat ini sudah terkonversi jadi rangkaian kenangan, segmen penyerahan medali adalah satu-satunya segmen yang paling mengharu biru. Bagaimana tidak, ketika hampir semua pasang indera penglihat yang ada di stadion memandangi saya ketika naik podium, pengalungan bungga dan medali, lalu melewati proses sakral para atlet juara, yakni menyanyikan lagu kebangsannya masing-masing. Bagi orang yang mengerti makna dari lagu kebangsaan yang dinyanyikan, tak elak, pasti perasaan terhenyak langsung timbul di dalam benak. Tapi nyatanya, itu bukan saya.

Percaya atau tidak, saya adalah satu-satunya atlet dari kontingan Indonesia yang tidak hapal lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saya sendiri pun terheran. Lagu Indonesia Raya adalah lagu keramat ciptaan W.R. Supratman yang ditasbihkan sebagai lagu kebangsaan. Reaksi orang Indonesia manapun hampir pasti seragam ketika tahu atau melihat orang Indonesia yang tidak hapal lagu Kebangsaan negaranya sendiri. Terlebih untuk seorang siswi SMA yang tulen orang Indonesia seperti saya. Terlebih lagi untuk seorang atlet yang mewakili negaranya di tingkat internasional seperti saya!

Kadang saya merasa tergelitik jikalau mengingat pengalaman berulang-ulang dihukum guru PKN karena tidak kunjung hapal lagu Indonesia Raya. Ya. Berulang kali. Dari SD, SMP, sampai SMA. Pernah sekali-kalinya saya full version menyanyikan lagu Indonesia raya pada saat ujian lisan PKN di tatkala SMP dulu, itu pun tertukar-tukar liriknya.Lirikhiduplah tanahku, hiduplah negeriku misalnya. Maupun lirik bangunlah jiwanya, bangunlah badannya yang selalu salah penempatan. Terkadang untuk bait terakhir pada lagu yang mestinya dinyanyikan ulang sebanyak 2 kali, hanya saya nyanyikan sekali atau bahkan lebih dari 2 kali. Terlebih saya malas mendengar gelak tawa jahat yang begitu puas dari teman-teman saya ketika saya menyanyikan lagu Indonesia Raya karena logatBanyumasan yang medhok terpancar dari rongga mulut saya. Bapak ibu saya tulen orang Banyumas, tetapi kami telah lama menetap di Semranag.

Wejangan bu Astiti, guru PKN di SMA saya, yang menyuruh saya untuk membawa secarik kertas yang berisi lirik lagu Indonesia raya hasil tulisan tangannya pun saya laksanakan. Bu Astiti mewanti-wantikan hal tersebut kepada saya sebagai upaya antisipasi seandainya saya yang keluar sebagai pemenang, lalu naik podium untuk menerima medali, serta dilanjutkan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wanti-wanti bu Astiti memang terwujud pada akhirnya, tapi tetap, tidak ada yang bisa mengalahkan lemotnya daya pikir ini untuk menghapalkan serta menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan baik dan benar.

Saya sangat mafhum betul akan kekurangan saya dalam masalah hapalan. Belum pernah rasanya selama bersekolah pun saya sukses besar dalam masalah pelajaran yang bergenre hapalan. Hal itu bukan juga pertanda saya mahir dalam pelajaran hitung-hitungan. Saya tahu saya bukan pelajar teldan.

Menghibur diri sendiri adalah hal yang saya lakukan selama perjalanan dari bandara Ahmad Yani menuju kantor Walikota Semarang. Tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya bagi seorang atlet Indonesia yang bertanding di tingkat internasional adalah bukan masalah yang harus terus dilarut-larutkan kejadiannya. Toh, tidak hapal lagu kebangsaan bukan berarti tidak punya rasa kecintaan terhadap negeri sendiri. Saya dengan segenap kemampuan serta usaha yang keras mampu mengharumkan Indonesia di mata internasional. Hapal Lagu kebangsaan bukan ukuran yang tepat untuk menilai kadar nasionalisme seseorang. Buat apa merdu-merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya jika tidak bisa memberikan kontribusi berarti bagi negara. Hanya bisa memberikan cacian untuk negeri, hinaan untuk negeri, serta rasa pesimisme untuk perkembangan bangsa sendiri. Jangan tanyakan apa yang negara berikan untukmu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan untuk negaramu adalah kata bijak yang paling tepat untuk mewakili apa yang saya rasakan sekarang.

Setidaknya, saya adalah satu-satunya atlet yang berhasil meraih medali emas dari kontingen Indonesia, selain juga menjadi satu-satunya Atlet yang tidak hapal lagu kebangsaannya sendiri. Setidaknya juga pengalaman jalan-jalan ke luar negeri beserta foto-fotonya adalah satu pengalaman yang bisa dijadikan bahan “pamer” kepada teman-teman kelas yang kerjaannya tiap hari memamerkan kekayaan milik orangtuanya.

∞∞∞

Laju mobil mulai melambat. Sudah saatnya saya menghentikan lamunan panjang. Perlahan mobil mulai memasuki kawasan balaikota lalu parkir di tempat yang telah disediakan. Laju mobil yang berhenti berbarengan dengan pintu mobil yang saya buka. Saya jejakkan kaki seraya kembali lagi merasakan rutinitas sehari-hari, merasakan panasnya udara di kota Semarang.

Lima orang ofisial mendampingi saya, satu-satunya atlet asal Jawa tengah yang mewakili kontingen Indonesia pada kejuaaan bulutangkis, kemarin. Sayup-sayup penyambutan sudah kedengaran dari pintu masuk balaikota. Saya disambut ibarat pahlawan yang baru saja selesai memenangkan pertempuran.

Perlahan langkah saya semakin dekat dengan orang-orang yang notabene pegawai dinas balikota yang ditugasi untuk menyambut saya. Ada satu wajah yang tidak asing. Belum pernah saya berkenalan dengan pegawai balikota di Semarang sebelumnya. Sampai akhirnya saya berani memastikan bahwa orang familiar yang saya maksudkan adalah guru PKN saya sendiri, ibu Astiti.

Kenapa beliau bisa disini? Sekonyong-konyong saya teringat akan wanti-wantinya yang tidak saya laksanakan. Apa keberadaan beliau disini untuk menagih wanti-wantinya kepada saya?

Gawat! Lekas siapkan alasan!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline