Dewasa ini, pendidikan telah menjadi sebuah hal yang dapat diakses oleh berbagai kalangan, baik mereka yang memiliki perbedaan taraf hidup, gender, dan sebagainya. Pendidikan menjadi suatu alat yang dapat dengan mudah dijadikan sebagai penggerak perubahan. Melalui pendidikan pula, jutaan masyarakat menjadi tercerahkan dengan beragam ilmu pengetahuan yang bisa dimanfaatkan untuk evolusi kehidupan yang lebih baik lagi. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sejatinya semua orang memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu dan belajar demi kebaikan dan kebermanfaatan sesama.
Namun, sayangnya masih banyak orang yang memiliki pandangan bahwa tidak semua orang memiliki keharusan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, terutama bagi perempuan. Fenomena ini acapkali ditemui dalam berbagai kesempatan, baik melalui komentar atau cuitan di media massa, maupun dalam hingar binger bisik-bisik tetangga. Tidak dapat dipungkiri, pada lingkungan yang terbilang masih jauh tertinggal, stigma tersebut seolah melekat dengan kuat.
"Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh ujung-ujungnya cuma ongkang-ongkang di rumah."
"Inget, kodrat utama perempuan itu tiga: masak, macak, manak. (memasak, berdandan/berhias diri, dan melahirkan)"
"Yaelah, cuma jadi ibu rumah tangga sama ngurus anak doang aja pake kuliah. Gak guna!"
Serta sederet pemikiran-pemikiran lain yang menyatakan ketidakharusan, atau bahkan ketidakwajaran seorang perempuan untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Sebagai kaum terdidik, kita tidak dapat menyalahkan cara pandang mereka dalam menyikapi isu ini. Kita harus tahu bahwa tidak semua kalangan memiliki kesempatan, fasilitas belajar, ilmu, dan privillege lain yang dapat membentuk mindset yang maju, berkembang, serta visioner. Pada umumnya, masyarakat yang menentang fenomena wanita mandiri dan bependidikan tinggi merupakan masyarakat yang tinggal di lingkungan dengan taraf hidup yang masih tertinggal.
Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan sebuah revolusi berpikir yang dapat mengubah stigma negatif tersebut. Perlu diketahui bahwasanya perempuan memegang peranan yang besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya berfokus pada urusan rumah tangga, perempuan juga merupakan pendidikan pertama bagi anak-anaknya kelak. Tumbuh kembang anak, kecerdasan, serta karakter anak akan sangat bergantung pada bagaimana pola asuh yang diberikan sang ibu. Memang beberapa ilmu dasar parenting dapat dipelajari tanpa mengikuti kelas khusus atau terpaku pada ilmu paten dan hal-hal akademis. Namun, bagaimana orangtua mampu mendampingi tumbuh kembang anak, mengajarkan hal-hal fundamental, membentuk pola pikirnya, menanamkan serta menjawab rasa ingin tahu anak merupakan bagian dari proses belajar anak, yang mana hal ini amat bergantung pada intelektualitas orang tua, khususnya sang Ibu.
Seharusnya perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berpendidikan, berkarir, dan berprestasi setinggi mungkin. Jikalau kelak mereka akan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, ilmu-ilmu yang sudah dipelajari tidak akan sia-sia. Menurut saya, justru ibu yang berpendidikan dan cerdas merupakan sesuatu yang amat kita perlukan dalam dinamika kehidupan sosial ini. Ibu yang cerdas akan melahirkan dan mendidik anak-anak yang cerdas pula. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan terletak pada kromosom X. Sedangkan, perempuan membawa dua kromosom X. Hal ini berarti kecerdasan seorang anak akan lebih banyak diturunkan dari sang Ibu. Tidak hanya itu, pola asuh Ibu juga berperan besar dalam penentuan intelegensi anak. Oleh karenanya, penting bagi setiap wanita untuk menempuh pendidikan, belajar, dan bersekolah setinggi mungkin tanpa mengkawatirkan stigma buruk yang berkembang.
Bagi saya, perihal stigma buruk yang berkembang ini akan mampu memudar bahkan hilang kelak manakala ada banyak perempuan yang berani mematahkan stigma buruk itu sendiri. Bayangkan apabila dalam suatu kelas, sekolah, universitas, atau lingkungan secara umum, terdiri dari banyak perempuan yang berkarakter, mengedepankan value dan moral, serta gigih dalam menuntut ilmu dan memperkaya khazanah pengetahuannya. Tatkala ia dewasa, entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, ilmunya tidak akan sia-sia. Ilmu itu akan terpakai manakala ia mengasuh, mendidik, serta membesarkan buah hatinya dengan penuh kasih sayang dan limpahan pengetahuan. Karakter anak yang terbentuk pun akan menjadi lebih berkualitas. Dari sini akan terlahir dan tumbuh generasi penerus bangsa yang unggul, cerdas, dan berkarakter pula. Tentu hal ini sangat bergantung pada banyak aspek, faktor, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak dapat dikesampingkan. Maka dari itu, pemberdayaan perempuan melalui pendidikan merupakan langkah pertama yang dapat kita ambil untuk mewujudkannya.