Debat Capres 2024 menjadi ajang krusial bagi para kandidat untuk merepresentasikan diri dan visi-misinya di hadapan publik. Di balik substansi kebijakan yang disampaikan, cara berkomunikasi memainkan peran penting dalam meraih simpati dan kepercayaan masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara akademis gaya komunikasi politik masing-masing kandidat, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, dalam Debat Capres yang telah berlangsung.
1. Anies Baswedan: Retorika Intelektual dan Pencitraan Bersih
Gaya komunikasi Anies Baswedan ditandai oleh penggunaan retorika yang intelektual. Ia kerap mengutip tokoh-tokoh ternama, literatur klasik, dan data statistik untuk memperkuat argumennya. Hal ini ditujukan untuk membangun citra sebagai sosok yang berwawasan luas dan kompeten. Anies juga piawai dalam menggunakan metafora dan analogi untuk membuat penjelasannya lebih mudah dicerna dan menarik.
Namun, kritikus berpendapat bahwa penggunaan intelektualisme Anies terkadang terkesan berlebihan dan kurang membumi. Fokusnya pada pencitraan diri terkadang mengaburkan substansi pembahasan. Penggunaan data statistik yang massif juga berpotensi disalahartikan atau dimanipulasi.
2. Prabowo Subianto: Kharisma Militer dan Penekanan Emosi
Prabowo Subianto mengandalkan kharisma militer dan penekanan emosi dalam komunikasinya. Ia menggunakan gestur tegas, intonasi suara yang berwibawa, dan pemilihan kata-kata yang heroik untuk membangun citra sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Penekanan pada isu-isu keamanan nasional dan pertahanan menjadi tema utama dalam komunikasinya.
Kritik terhadap gaya komunikasi Prabowo menyoroti kecenderungannya pada pendekatan populis dan emosional. Penggunaan narasi-narasi dinilai dapat memicu ketakutan dan polarisasi. Selain itu, fokusnya pada isu keamanan terkadang mengesampingkan pembahasan aspek-aspek hukum dan sosial lainnya.
3. Ganjar Pranowo: Populisme Pragmatis dan Pendekatan Humanis
Gaya komunikasi Ganjar Pranowo dicirikan oleh populisme pragmatis dan pendekatan yang humanis. Ia menggunakan bahasa yang sederhana dan merakyat, serta gemar menceritakan kisah-kisah personal dan pengalaman lapangan untuk membangun kedekatan dengan audiens. Ia juga aktif merespons pertanyaan dan interupsi, serta tidak segan untuk mengakui kekurangan dan kesalahannya.
Kritik terhadap gaya komunikasi Ganjar Pranowo tertuju pada terkesan terlalu populis dan kurang visioner. Fokusnya pada pencapaian program dan kinerja di level daerah dinilai belum sepenuhnya menjawab tantangan nasional yang lebih kompleks. Pendekatan humanisnya juga dikhawatirkan dapat terkesan pragmatis dan kurang tegas dalam pengambilan keputusan.
Kesimpulan
Gaya komunikasi politik para kandidat Capres bukan sekadar teknik, melainkan representasi diri dan strategi kampanye. Analisis akademis atas perbedaan gaya tersebut dapat membantu pemilih memahami pendekatan, nilai-nilai, dan visi-misi yang diusung masing-masing kandidat. Pada akhirnya, pilihan Capres tidak hanya bergantung pada substansi kebijakan, tetapi juga pada cara kandidat tersebut menyampaikannya dan membangun kepercayaan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H