Pers yang dibangun saat Orde Baru (ORBA) lekat dengan dua hal yaitu modal dan kekuasaan yang berpengaruh terhadap dimuatnya suatu isi berita. Hal itu bisa terjadi karena melihat dua media pers besar di masa itu yaitu Kompas dan Suara Karya yang menjadi perwujudan modal dan kekuasaan melalui surat kabar. Kompas sebagai perwujudan modal karena sistem pembiayaannya surat kabar terletak pada investor sedangkan Suara Karya sebagai perwujudan kekuasaan karena koran ini lekat dengan PNS dalam penulisan berita pada saat itu.
Melihat sejarah pers pada masa itu dan kita refleksikan dengan pers hari ini dalam melakukan pemberitaan, apakah sudah mulai independen dalam pelaksanaanya tanpa intervensi dari kekuasaan atau modal? Sebenarnya untuk modal sendiri pun tidak mengurangi esensi dan keakuratan berita, tetapi ketika pers mengurangi berita karena hilangnya pemodal itu yang menjadi kekhawatiran, artinya berita bisa dibeli dan dibuat oleh pemilik modal. Sedangkan ketika pers menjadi alat kekuasaan, pers menjadi alat dalam pengarahan opini publik yang bisa menjerumuskan masyarakat atau hanya memberitakan informasi yang sifatnya manipulatif.
Kita lihat beberapa pers yang dikuasai oleh pemodal dari seorang pemilik partai politik besar yang sudah bukan rahasia lagi seperti, media Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh yaitu Ketua Umum Partai Nasdem, MNC Grup yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo yaitu Ketua Umum Perindo, dan lain -- lain. Jika ditinjau lagi dari tayangan pers mereka ketika salah satu anggota partai mereka terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak akan diberitakan, tetapi ketika ada yang terkena OTT dalam partai politik yang berbeda maka mereka akan menayangkan berita tersebut di media persnya.
Pada akhirnya menimbulkan pertanyan tentang netralitas pers sebagai pilar ke-empat dari demokrasi yang menjunjung tinggi kebenaran dalam memproduksi informasi publik. Selain itu muncul juga anggapan bahwa pers hari ini memiliki keberpihakan terhadap Partai Politik tertentu karena sebagai pemilik perusahaan dan pemilik kekuasaan.
Hal itu mengakibatkan masyarakat menarik kesimpulan bahwa pers tidak lagi independen dalam pelaksanaan pemilihan topik dan pemuatan berita kepada masyarakat. Apa lagi dalam bingkai pemberitaan lawan politik dari media pers yang dimiliki oleh salah satu parpol juga akan terasa berat sebelah karena dalam pengambilan objektivitas opini, yang akan ditonjolkan hanyalah kegagalan atau buruknya saja.
Penulis : M. Alvian Rizky Pratama
Editor : Tamara Setiyani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H