Sejarah, saat ini Majapahit menjadi topic paling hngat dan paling sering dibahas orang dikarenakan kesuperioritasannya dalam menaklukan Nusantara. Akan tetapi, ada sebuah ganjalan bagi saya pribadi tentang wilayah kekuasaan Majapahit ini.
Mengapa??? Why??
Wilayah kekuasaan Majapahit selalu di ibaratkan mencakup hingga seluruh Nusantara, tetapi andaikata memang merupakan kerajaan Besar pastilah akan meninggalkan catatan ataupun peninggalan di wilayah kekuasaanya. Ibarat Harimau yang mengencingi pohon2 di hutan sebagai tanda wilayahnya, Namun Majapahit sendiri tidak memiliki peninggalan di luar Jawa-Bali (Meskipun tidak menutup kemungkinan masih tersembunyi). Dalam hal ini, bisa jadi kekuasaan Majapahit sendiri merupakan sebuah wilayah yg luas dengan menjalin kerjasama bilateral dengan negeri lain. Jikapun menguasai negeri tetangga itupun pastilah terdapat catatan ataupun prasasti. Namun apa, selama ini prasasti-prasasti Majapahit sendiri hanya sebatas wilayah Jatim, sebagian Jateng dan Bali saja.
Kembali kepada Majapahit dimana dikisahkan “MENGUASAI” Nusantara, kata menguasai sendiri menjelaskan secara verbal menjadikan semuanya adalah miliknya (Majapahit) akan tetapi ketiadaan bukti catatan berupa prasasti di wilayah lain itupulalah yang membuat saya sendiri menyangsikan kesuperioritasan Majapahit. Seperti halnya sebuah rumah yg dimiliki oleh saya tadi. Padahal jika mau dicari pastilah lebih mudah dikarenakan secara usia Majapahit ini hanya berjarak +/- 600th yang lalu dari sekarang. Berbeda dengan Sriwijaya, Medang(Mataram Kuno), ataupun Singhasari yang secara usia lebih Tua. Jika hanya berdasarkan catatan China saja ketiga Negeri inipun ada dan bahkan saya bisa menyatakan bahwa Medangpun menguasai Nusantara.
Mengapa???
Adanya catatan asing dalam hal ini lebih banyak negeri China yang melakukan pencatatan hasil dari “Blusukan” para penjelajahnya serta didukung dengan goresan Prasasti yang ditemukan Medang terlihat lebih superior.
Dimana di dalam Prasasti Sdok Kak Tom yang ditemui di Phnom Sandak di Preah Vihear bertarikh 1052 Masehi, dan ditulis dalam Bahasa Sanskrit dan Khmer. R.C Majumdar telah menterjemah prasasti ini seperti berikut:
“Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskrit/sangsekerta dan Khmer bertarikh 974 saka (1052) menyatakan bahwa Raja Jayavarman II, yang datang dari Jawa untuk memerintah Kota Indrapura, melaksanakan satu perayaan keagamaan supaya Kambujadesa(Indochina/Kamboja & vietnam) tidak lagi terletak dibawah takluk Jawa. Kerana Jayavarman II memerintah dari tahun 802 – 869 Masihi. Ini bermakna negara Khmer telah merdeka dari pengaruh Jawa hingga akhir abad ke-8. Seterusnya ia kekal merdeka.
Selain prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, prasasti lain yang menyebutkan “jawa” adalah Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun 799 Masehi. Isinya mengenai peringatan selesainya pemugaran kuil Bhadradhipatiswara yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh sepasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi Campa juga pernah mendapat serangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.
Peristiwa penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyat Kamboja, sehingga menjadi sumber cerita orang-orang Khmer yang disampaikan kepada saudagar Arab ketika ia berkunjung pada tahun 851 Masehi.
Saudagar Arab yang bernama Sulaeman menceriterakan tentang kekalahan yang diderita oleh raja Khmer akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Sri Maharaja dari negeri Zabag. Nama Sri Maharaja disebutkan juga di dalam beberapa prasasti dari abad ke-8 Masehi, baik yang ditemukan di Jawa (Prasasti Kalasan, 778 Masehi) dan Tanah Genting Kra (Prasasti Ligor B, 775 Masehi).