Baru selesai diskusi dengan dosen, baca beberapa literasi, dan nonton video-video terkait, ada hal menarik yang pengen saya angkat dan bahas. Hal ini berkaitan dengan; betapa kebijakan, bisa menjadi bom waktu yang merugikan masyarakat di masa depan.
Hama wereng; hewan kecil ukuran mikroskopis yang menjadi masalah nasional. Sampe Gubernur ikut turun tangan, Presiden turun tangan, bahkan sampai muncul Inpres No 3 tahun 1986 tentang pengendalian hama wereng. Keren ya? Sepengetahuan saya, tidak ada hewan, apalagi hewan, mikroskopis, yang masuk dalam Inpres. Wereng lah satu-satunya. Ini menunjukkan bahwa hewan kecil ini adalah salah satu masalah serius yang terjadi di negara ini.
Wereng muncul karena politik beras. Dulu, sebelum para petani dikenalkan dengan pupuk, insektisida, pestisida, urea, dan elemen-elemen rekayasa lainnya, wereng bukanlah sebuah masalah besar. Masalah, namun belum menjadi masalah besar. Karena, siklus rantai makanan di dunia pertanian masih stabil. Ada predator-predator yang secara alami membasmi wereng. Namun, setelah pestisida dan teman-temannya mulai digunakan para petani, justru wereng semakin banyak, kenapa? Salah satunya karena predatornya mati oleh kandungan pestisida. Dan banyaknya wereng menjadi masalah serius, kenapa? Karena otomatis jumlah produktivitas padi menjadi menurun.
Pertanyaan lagi sebelum lanjut bahas wereng, kenapa para petani dikenalkan bahkan disubsidi dengan bahan-bahan rekayasa seperti pestisida? Dulu, waktu revolusi hijau, negara mempunyai anggapan bahwa; ketika perut masyarakat terisi, maka akan terjadi kestabilan politik. Sehingga petani dijadikan objek, bukan subjek, sebagai agen untuk meningkatkan produktivitas pangan, padi khususnya. Peningkatan produktivitas ini, membuat mindset petani pun berubah, yang tadinya bertani hanya untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari, berubah menjadi bertani untuk mengejar profit. Ini merupakan sebuah kejadian perubahan sosial. Lanjut. Konsekuensinya, misal, yang awalnya 1 tahun hanya 2 kali panen, berubah menjadi 1 tahun 4 kali panen. Yang awalnya 1 tahun menghasilkan 1 ton beras, setelah menggunakan pestisida jenis x, padi jenis y, bisa menghasilkan 2 ton beras, kurang lebih seperti itu kejadiannya waktu itu.
Waktu itu, para petani merasa sangat diuntungkan, ditambah lagi dengan adanya subsidi pupuk dari negara. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh negara setidaknya merubah sistem sosial yang terjadi di kalangan para petani. Petani yang tadinya ber-mindset sederhana, berubah menjadi petani yang ber-mindset profit oriented.
Tingginya produksi padi yang dihasilkan, berhasil membuat Indonesia dianugerahi sebuah medali bertuliskan "from rice importer to self sufficiency" dari Food and Agriculture Organization (FAO). Ya, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras tahun pada tahun 1984. Namun, swasembada yang dibanggakan itu, sebut Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra dalam Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004), hanya bertahan 5 tahun.
Mari kita coba ilustrasikan timeline-nya:
Sebelum tahun 1960an, bertani merupakan sebuah aktivitias untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi petani. Dan rantai makanan di dunia pertanian masih stabil.
Tahun 1960-1970an, terjadi revolusi hijau; politik beras. Petani diminta untuk menaikkan produktivitas pangan, agar bisa menstabilkan politik negara. Menaikkan produktivitas berkaitan dengan intervensi pupuk dan rekayasa lainnya, dimana negara yang menginisiasinya. Bahkan subsidi pupuk menjadi salah satu persentase penting pada APBN saat itu.
Tahun 1974, terjadi ledakan hama wereng di berbagai daerah di Indonesia. Ditanggulangi dengan munculnya pestisida dan insektisida.