Memasuki terakhir bulan ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri, biasanya orang-orang ramai membicarakan soal THR, tapi bukan dari singkatan 'Taman Hiburan Rakyat', akan tetapi 'Tunjangan Hari Raya'. Tentu hal ini menjadi kabar gembira bagi mereka, mulai dari kalangan pekerja lepas (honorer), karyawan kontrak, karyawan tetap, PNS, TNI, maupun POLRI. Namun tentu tak sedikit juga menjadi kabar buruk bagi mereka.
Tulisan ini coba membahas dari sudut pandang tentang keluh kesah bagi sang penerima THR. Kenapa seperti itu? Iya, karena orang yang sudah menerima THR belum tentu gembira, pasalnya ada saja dari kita yang belum (Legowo-jawa) nerima dengan bermacam faktor yang sangat kompleks.
Sebetulnya, THR itu hanya uang tunjangan yang kita terima jika bekerja kepada sebuah perusahaan atau pemerintahan sebagai persiapan menjelang hari raya, tunjangan itulah kadang menjadi tekanan untuk kita. Ketika menjelang hari raya ini, ada banyak sekali godaan yang muncul, seperti saat Istri meminta baju, gamis, kerudung, sandal atau sepatu baru.
Belum lagi belanja kue untuk menyuguhi orang dan sanak famili yang bertamu ke rumah kita. Apalagi dengan adanya tradisi harus menyediakan angpao untuk saudara kecil dan keponakan. Dan yang paling besar menyita pikiran dan anggaran yaitu biaya mudik. Yang jelas biaya operasional mudik setiap tahunnya makin mahal. Beberapa faktor itulah yang menjadi kabar buruk untuk kita.
Memang semuanya itu tidak bisa kita pungkiri bahwa saat menjelang lebaran, beban pengeluaran menjadi lebih besar, karena di Indonesia ini menganut budaya konsumtif. Sifat manusia saat menjelang hari raya berubah drastis menjadi lebih konsumtif. Walhasil, THR hanya numpang lewat saja.
Moch. Atho' Illah.
Surabaya, 6 Juni 2018[04.10 Wib]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H