Lihat ke Halaman Asli

Aluzar Azhar

Penyuluh Agama Honorer

Resensi Buku: Islam dan Terorisme

Diperbarui: 6 Mei 2017   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cover buku

Serangan 11 September 2001 ke gedung kembar WTC (World Trade Center) di New York seakan melegitimasi Islam sebagai ‘agama’ teroris, padahal peresensi meyakini ada motif  ‘ekonomi’ di balik serangan tersebut, bukan motif ‘keyakinan’; bahkan istilah ‘terorisme’ itu sendiri lahir dari ranah politik. Jadi, peresensi mengajak pembaca yang budiman untuk ‘clear’ dan ‘fair’ dalam menanggapi persoalan ‘teror’ dikaitkan dengan agama tertentu.

Mungkin, alinea di atas adalah ‘misi’ dari buku yang diresensi ini. Meskipun isi buku merupakan Kumpulan Khutbah Jumat, namun ke-52 bahan khutbah itu diupayakan sistematis menjadi sebuah ‘buku’. Memang terkesan apologis, yakni ‘tangkisan’ atau argumen-argumen khatib dengan mengutip ayat Quran dan Hadis ketika Islam ‘dituduh’ sebagai agama yang mengajarkan anarkisme (kekerasan), radikalisme, dan terorisme.

Menurut Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Republik Indonesia), yang memberi “Kata Pengantar”, khatib (Nasaruddin Umar) telah mengulas lebih mendalam tentang tindakan terorisme ditinjau dari perspektif agama Islam. Karena misi ajaran Islam adalah membebaskan umat manusia dari berbagai bentuk anarki dan ketidakadilan yang selaras dan sejalan dengan nilai-nilai universal Islam, juga mengajarkan kebaikan dan moralitas yang luhur dan melarang perbuatan jahat dan munkar. Islam membawa misi keselamatan dan kedamaian (hlm. vii).

Sang Khatib sekaligus Editor buku ini—dibantu Tim Penulis—membagi isi buku menjadi enam bagian, yaitu: (1) Islam Rahmatan lil Alamin dengan 8 bahan khutbah; (2) Relasi Islam dan Barat dengan 4 bahan khutbah; (3) Rekonstruksi Makna Jihad dengan 15 bahan khutbah; (4) Membangun Harmoni Muslim dan Non Muslim dengan 7 bahan khutbah; (5) Islam dan Tantangan Modernitas dengan 9 bahan khutbah; serta (6) Islam dan Civil Society dengan 9 bahan khutbah.

Membaca rangkaian isi buku ini, kita diingatkan kepada tren tematis pembaruan pemikiran Islam di Indonesia pada era 90-an awal yang muncul karena dipicu oleh peralihan abad ke-21 dan milenium ke-3, yakni adanya stagnancy pemikiran kaum muslim vis a vis tuntutan perkembangan zaman.

Tanpa melupakan jasa tokoh lain, secara ‘kebetulan’, peresensi menemukan adanya estafet pembaru (modernis) pemikiran Islam per dekade di Indonesia. Misalnya dimulai oleh Harun Nasution yang lahir pada 1919, kemudian dilanjutkan Busthanul Arifin pada 1929, Nurcholish Madjid pada 1939, Jalaluddin Rakhmat pada 1949, Nasaruddin Umar pada 1959, dan Anies Baswedan yang lahir pada 1969.

Para tokoh di atas, tentu mempunyai concern dan buah pikiran yang khas. Namun, dengan mengacu kepada pembagian isi buku ini, kiranya para tokoh pembaru itu pernah terlibat dan melahirkan nomenklatur tersendiri. Di sini, peresensi berterus terang menjadi bingung sendiri: siapa penggagas atau pionir buah pikiran seperti ‘Islam rasional’, ‘Islam inklusif’, atau ‘Islam aktual’ dikarenakan kesamaan tema (misi) wacana, kecuali jika dilakukan pelacakan terhadap genealogi konsep-konsep tersebut.

Misalnya pada sub-tema “Relasi Islam dan Barat”, selain ijmak menggugat stigma, hegemoni, unilitarianisme (kesepihakan), globalisasi serta politik kepentingan ‘Barat’ kepada Islam (hlm. 55-78; lihat juga sub-tema “Islam dan Tantangan Modernitas”, hlm. 227-288), para tokoh seperti sepakat menggemakan jargon Muhammad ‘Abduh, reformis dari Mesir: “Barat maju karena meninggalkan agama; justru Timur (Islam) mundur karena meninggalkan agama.”

Kemudian masalah “Rekonstruksi Makna Jihad” (hlm. 81-177) diulas paling banyak oleh Editor dengan 15 bahan khutbah. Namun inti makna ‘jihad’ tersebut semakna dengan konsep jihad Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang mengulas dengan pendekatan etimologis, yakni dari kata ‘jahada’ (kerja keras) yang melahirkan kata turunan ‘jihad’ (kerja fisik, perang suci), ‘ijtihad’ (kerja otak, rasionalisasi), dan ‘mujahadah’ (kerja hati, tasawuf). Penafsiran komprehensif seperti ini akan ‘meluruskan’ makna ‘jihad’ pada ayat QS al-Baqarah/2: 193 alias bukan mutlak perintah perang.

Selain bahan-bahan khutbah ‘apologis’, buku ini menawarkan solusi Islam sebagai agama kedamaian dan muslim sebagai kaum pendamai; lihat sub-tema “Membangun Harmoni Muslim dan Non Muslim” serta  “Islam dan Civil Society”. Civil Society (masyarakat madani) ini pernah pula didengungkan Cak Nur dengan Paramadina-nya yang dilanjutkan Anies Baswedan atau oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dengan Pesantren Ciganjur dan Fordem (Forum Demokrasi)-nya.

Akhirnya, sebagaimana ‘promosi’ Penerbit, buku ini adalah salah satu bentuk dan upaya menyebarkan kebenaran dan prinsip-prinsip perdamaian yang diajarkan oleh Islam. Tema-tema yang diangkat dalam buku ini berbicara seputar Islam yang damai dan toleran vis a vis terorisme dan radikalisme. Buku Khutbah ini diharapkan mampu menjadi jawaban terhadap mereka yang berpandangan negatif terhadap Islam dan menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan terorisme (hlm. xii).

Data Buku

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline