Lihat ke Halaman Asli

Aluzar Azhar

Penyuluh Agama Honorer

Tarif Naik, Jangan Tanggung!

Diperbarui: 7 Januari 2017   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gagal Paham

Asli, saya  gagal paham kalau Pemerintah menaikkan tarif pajak STNK; bahkan sejak pemisahan TNI dengan Polri, yang saya pahami berarti bahwa TNI urus ‘pertahanan’ dan Polri urus ‘keamanan’. Lalu, saya pernah ‘ditilang’ polantas karena belum bayar pajak STNK atau SIM belum diperpanjang. (Pernah ada polantas yang nyeletuk: “Alah, setahun sekali, seharusnya bisa menabung …!”). Ini berarti saya melanggar ‘keamanan’ lalu lintas. Pertanyaannya: lalu lintas kendaraan (jalan) atau lalu lintas uang (pajak)?

Saya sekadar merenung karena disiplin saya memang ‘merenung’. Oh, mungkin orang pajak kekurangan personel, sehingga meminta tolong polantas untuk ‘mengamankan’ pajak STNK. Kalau tarif STNK dan BPKB baru bolehlah naik, mudah-mudahan mengurangi macet, apalagi BPKB bisa ‘disekolahkan’—mungkin, ini argumen orang pajak; sementara orang YLKI bilang: “BPKB, apalagi STNK, ‘barang’ non-komersial, sehingga tidak logis jika naik.”

Asli, saya jadi bingung, masih gres soal ‘kesuksesan’ program Tax Amnesty. Lantas, tarif STNK naik. Wajar/tidak saya bertanya: apakah program Tax Amnesty itu ‘pengalihan isu’ (kamuflase) dan apakah pemegang STNK itu orang kaya? (c.q. tidak semua pemegang STNK itu pemilik BPKB). OK, saya ingin mengerti, sepertinya kita akan sepakat untuk membuat ‘kelas’ lagi semisal iuran BPJS maka pelayanan pun sesuai iurannya atau yang berpenghasilan per bulan di bawah 4,5 juta tidak wajib pajak (fakta: oknum gepeng, gelandangan pengemis itu banyak lho yang ‘beromzet’ di atas itu); ini berarti, memang tarif STNK ada kelasnya nanti; dan sebenarnya, yang saya kritik, mengapa pajak STNK motor/mobil jadul ikut naik, apalagi kondisi kendaraan bermotor plus penggunanya memprihatinkan?

Mengapa Naik?

Kata tanyanya ‘mengapa’, yakni mengapa tarif penerbitan dan pengurusan STNK dan BPKB naik? Ketika muncul kata tanya ‘mengapa’ dari Rakyat, berarti Pemerintah belum gencar mensosialisasikan bahwa tarif STNK dan BPKB akan/harus naik. Jadi, selamat bekerja mensosialisasikannya segencar program Tax Amnesty kemarin.

Kalau ujug-ujug naik, wah ter-la-lu! Saya khususnya seperti tidak punya suara; seperti tidak punya Wakil di singgasana trias politika sana. Jadi, dimohon luruskan!

Terlebih karena pemilu luber (pemilihan umum, langsung, bebas, dan rahasia)—memilih—Pemimpin dari Ketua RT hingga Presiden, maka Pemimpin (eksekutif) bertanggung jawab kepada pemilih (Rakyat); apakah DPD, DPR, atau yang mengatasnamakan ‘perwakilan’ bubarkan dan bentuk DR (Dewan Rakyat) alias MPR saja, yakni ‘musyawarah’ dihidupkan lagi secara konkret, bukan ‘demokrasi’ pasca era reformasi kini?

Ayo dong yang ahli, yang pakar di disiplinnya, satu meja: ini administrasi, ini birokrasi, ini sistem poleksosbudhankam di negeri ini belum efektif-efisien; tentu dipimpin Presiden. Nanti, Presiden bertanggung jawab kepada pemilih (semua Rakyat, memang ketahuan siapa pilih siapa?).

Nah, kan, jadi merembet-menjalar. Itulah yang saya gagal paham, yang bikin saya bingung: apakah Pemerintah tidak merasa dampak ‘naik’ (tahu/tidak Rp 1.000,- dapat berapa buah céngék, Sunda: cabe rawit? jangan-jangan “Tidak dijual,” kata penjual céngék kalau di atas Rp 100 ribu/kilo); kalau tak simpati, empatilah. Ya, itu: blusukan-lah dan the real blusukan adalah nyaru tanpa  media tahu, tanpa acara sidak atau OTT; menjadilah Rakyat (kembali). Tanda seru.

Jangan Tanggung

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline