Lihat ke Halaman Asli

Segenggam Pasir Senja

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku selalu menyimpan rasa ingin tahu menyaksikan batas senja menuju malam. Adakah itu berbatas atau senja meredup tanpa bisa disaksikan. Dari senja dan tiba tiba malam. Tapi, tak pernah sekalipun aku berhasil melihat batasnya. Walau aku percaya mustinya ada. Bukankah setiap waktu ada siklusnya. Penandanya.

Senja ini, kembali aku duduk di pantai. Tak terlalu sulit untuk mencari tempat yang agak lengang. Aku menjauh dari orang orang yang masih cukup banyak di pantai itu. Sama saja denganku pasti mereka ingin menyaksikan senja. Tapi pasti mereka tidak ingin mencari batas senja dan malam seperti aku.

Matahari masih bersinar keperakan, walau tidak menyilaukan. Aku akan setia menunggu dan berharap senja ini berhasil menatap batas malam saat matahari menghilang. Aku diam mematung, mencoba berkonsentrasi, meditasi. Menyerap energi semesta.

Aku bersila. Memejamkan mata. Meditasiku terganggu merasa ada yang terlampau iseng menghampiriku. Berdiri disampingku dan menanyakan apa yang tengah kulakukan. Aku pura pura tidak mendengar. Yang bertanya terlampau degil kembali menanyakan aku sedang apa. Aku terpaksa membuka mataku melihatnya tajam sekilas, kemudian buang muka. Pesan yang jelas supaya ia tidak menggangguku.

Seolah ia berhasil menerka, dia mengatakan, "Oh sedang menunggu matahari terbenam?" Dengan judesnya aku terpaksa berkata, "Ya, dan kamu mengganggu saya". Tegas agar dia segera enyah.

Bukannya beranjak pergi, dia menjatuhkan tubuhnya dan duduk di dekatku. "Senjanya indah ya," ujarnya tak mempedulikan kejudesanku. Aku menggeser agak menjauh dengan gerak tubuh yang tentu bisa mudah dibacanya ia menggangguku.

Rupanya ia bukan orang yang mudah diancam. Ia malah melempar sejumput pasir ke kakiku. Dengan kesal aku segera berdiri meninggalkannya tanpa menoleh lagi. Memilih tempat di hamparan pasir untuk menatap senjaku. Aku mengibaskan rambutku seolah mengibas kehadirannya yang tadi telah menggangguku.

Matahari yang tadi bersinar keperakan kini mulai memerah. Kali ini aku bersungguh sungguh menyaksikan batas antara senja dan malam. Tak kan kubiarkan mataku berkedip, karena biasanya begitu cepat peralihannya. Tak pernah sekalipun aku dapat menangkap peristiwa itu.

"Mataharinya gagah." Aku terlonjak, kaget, menengok ke belakang. Dia telah duduk tepat di belakangku entah sejak kapan. Kemudian beringsut tanpa merasa bersalah menjejeriku. Ia membawa kamera dan mengabadikan matahari.

"Suka lihat matahari terbenam?" tak putus asa membuka percakapan denganku. Aku yang putus asa, dan akhirnya menatapnya. Dia sengaja melihat ke depan, sehingga aku dapat mempelajari profilnya. Sepertinya dia baik, bukan tipe penjahat. Lagipula jauh di sebelah sana masih cukup ramai. Jadi kalau ada apa apa aku akan berteriak orang orang pasti akan menolongku.

"Tak usah berpikir macam macam. Aku baik," katanya. Aku kesal karena dia dapat membaca pikiranku. Kemudian kami terdiam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline