Lihat ke Halaman Asli

Sayangnya Ia pada Saya

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya harus mohon maaf  kepada para korban banjir. Kemarin, pagi, saya mohon pada Tuhan untuk menurunkan hujan sederasnya. Doa itu saya lantunkan, saat saya yang baru bangun tidur itu, berdiri depan jendela menatap langit subuh. Saya berharap langit yang terlihat masih sangat gelap itu karena tersaput mendung berat.

"Tuhan biarlah sepanjang hari ini Engkau turunkan hujan yang deras."  Ya, tentu saya tidak sejahat itu. Saya sungguh berempati kepada saudara saudara kita yang menjadi korban banjir, sehingga saya pun meneruskan doa, "Tapi, Tuhan, biar hujan deras, tolong, jangan pakai banjir ya. Plissss." Bahkan saya berdoa, " Tuhan saya mohon biarlah sepanjang hari ini hujan, tapi jangan sampai banjir sehingga Jokowi tidak di bully lagi dengan para politisi."

"Tuhan, tapi hujan jangan turun lagi di Tomohon, Sinabung, Pantura....." Ya, daerah yang juga dilanda banjir sebagaimana saya baca di media onlines, saya sebutkan satu persatu, yang saya ingat saja. Lebih spesifik saya meminta Tuhan menurunkan hujan di daerah rumah saya hingga wilayah kantor saya saja.

Tapi, ternyata, Tuhan masih sayang kepada saya. Ia pasti tahu kenapa doa saya seperti itu. Ia ingin saya melawan segala perasaan yang berkecamuk di dada saya sehingga saya malas ke kantor. Pagi itu tidak hujan.

Kali ini saya tidak mau lagi berkonsultasi dengan Tuhan. Saya akan memakai alasan flu saja. Kemarinnya lagi, di kantor, toh saya bersin bersin. Beberapa teman jadi saksi melihat saya bersin bersin. Itu sudah cukup menjadi alibi. Alasan yang tidak bisa diganggu gugat. Sakit adalah anugrah untuk tidak masuk kantor.  Ya, ide flu sebagai alasan membolos bukan ide baru melainkan ide yang sudah berusia setua diketemukannya organisasi perkantoran modern.

Tapi, Tuhan tampaknya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah. Pasti Ia tahu saya akan ber pity party sepanjang hari di rumah. Saya akan mengerang erang, memanjakan kecamuk yang ada dalam hati saya.

Telepon genggam saya berkedip kedip minta dibaca. Sudah berapa lama ini saya malas membaca pesan pesan yang masuk.

Dan, benar saja, saya lunglai, membaca "Mbak, ditunggu ada yang harus diparaf. Penting" (tak lupa ada emoticon big hugs dan senyum lebar). Gak lucu. Menyebalkan. Saya membalasnya, "Otw, taroh aja di meja"

Dengan malas saya mandi. Semalas malasnya saya ke kantor sehingga saya mandi lebih lama. Sudah sudah cuci rambut kemarin, tapi saya keramas lagi. Saya yang biasanya suka lupa pakai body lotion, pagi hari ini saya berlama lama membalur tubuh saya seperti bintang iklan.

Saya malas ke kantor karena saya tidak ingin ada seorang pun yang tahu saya sedang uring uringan gak keruan. Saya hanya ingin sendirian. Tapi, mungkin Tuhan ingin saya dapat mengatasi perasaan saya. Ia ingin saya berani menghadapi kenyataan kenyataan yang sedang mengharu biru perasaan saya hingga lebam.

Benar saja, dari tempat parkir menuju ruang kerja, saya harus membalas salam dari beberapa orang yang dengan riang menegur dan menanyakan kabar saya. Saya berusaha tersenyum dan membalas dengan suara yang diriang-riangkan.

"Tadi dicari bu," tidak pakai selamat siang teman saya yang masih amat muda dibanding saya langsung memberi laporan.

"Siapa?" tanya saya walau tak ingin tahu.

"Bos," katanya, "Tadi kesini nyari ibu." Teman saya memanggil saya ibu bukan karena dia hormat hormat amat pada saya, tapi hanya karena dia jauh jauh lebih muda dari saya. Bosan saya memintanya untuk memanggil cukup dengan nama saya. Minimal ‘mbak’ lah. Tapi dia tak pernah membiarkan sekalipun itu terjadi.

Wah, sampai bos mencari ke ruangan artinya cukup penting. "Apa katanya?" tanya saya sambil mengingat ingat, oh iya, sebetulnya hari ini ada pertemuan cukup penting. Bukan untuk saya, tapi untuk si bos bos itu.

Saya ke ruangan lain, "Aduh mbak udah lama gak kelihatan," sambut teman saya yang lain secara lebay. Ia berdiri dan sambil tertawa tawa bercanda mau mencium tangan saya.

"Lu tu yang kemana aja," saya menyembunyikan tangan saya ke belakang sambil tertawa juga. Rasanya, saya mendengar suara Tuhan, “Benar kan di kantor kamu bisa tertawa.”

"Kan ujan, banjir kemaren. Nonton TV dong," hm teman saya cerdas menggunakan informasi berita televise sebagai alasan ngendon di rumah. Walau saya tahu dari arah rumahnya ke kantor tidak ada halangan banjir. Paling, macet cet cet, yang mungkin akan membuat orang berpikir neraka bisa saja lebih enak ketimbang berada dalam kemacetan Jakarta.

"Lu dicariin dari tadi mbak. Ada rapat tuh."

Saya bergegas masuk ruang rapat. Bos bos itu sudah berkumpul di ruangan, sedang bicara serius.

"Selamat siang. Maaf, saya baru datang," kata saya menghormat dengan sopan. Mereka semua melihat saya tanpa bilang apa apa. Saya cepat mengambil keputusan kehadiran saya tidak diinginkan. Jadi saya keluar  kembali ke ruangan, dan bersyukur, “Terima kasih Tuhan Engkau membebaskanku dari cobaan.”

Hal yang membuat saya lega berada di kantor dalam keadaan seuring-uringnya, ya, ini. Yang jadi bos bos, notabene, teman teman saya . Kurang lebih seangkatan, jadi mereka sudah mengenal saya yang tidak hobi rapat. Apalagi, kalau saya tahu agenda rapat, yang katanya penting itu, sebetulnya tidak penting penting amat. Masalah yang dibahas bisa diselesaikan dengan mudah melalui antar memo saja.

Tengah saya mengecek surat surat, tiba tiba bos masuk,

"Oiii rapat. Malah duduk disini."

Saya tertawa, "Oh saya kira, saya gak perlu ikut."

"Enak aja," dia pura pura cemberut. "Saya mau ke atas dulu. Tolong liatin rapatnya harus buat laporan besok."

Sejak dia jadi bos, saya memang jadi ber -saya-saya - an. Saya malas ber- aku-aku-an dengan dia, kedengarannya jadi manja. Ber-gue-gue-an, ya, kalau cuma keceplosan saja. Selain dia sudah jadi bos, sayapun ingin terlihat professional.

Saya minta teman muda saya yang lebih mungil dari saya itu untuk ikut rapat juga. Saya masuk, "Maaf saya diminta ikut rapat," kata saya menarik kursi. "Dan saya harus mencatat semua apa yang dibicarakan." Bos bos yang juga teman saya itu tak menghiraukan saya. Baru juga sebentar saya ikuti rapat itu saya sudah bosan setengah mati. Tapi, paling tidak, saya bisa melupakan kekalutan hati saya. Berganti dengan kegemasan terhadap isi rapat yang menurut saya bisa diselesaikan dengan mudah sambil ngopi ngopi santai.

"Lo catet kan," bisik saya pada si mungil di sebelah saya. "Entaran lo susun laporannya seperti ini," saya menyorongkan kertas yang setengah penuh dengan coretan saya.

Kemudian, saya memutuskan memaksimalkan penggunaan laptop di depan saya. Temen mungil saya sibuk mencatat, saya pun sibuk ngecek berita media onlines. Sesekali, saya melempar pandangan saya kearah yang tengah bicara, seolah takzim mengikuti rapat . Akhirnya, saya memilih untuk mendengarkan rapat, karena yang disajikan media onlines malah buat saya tambah uring uringan,

Rapat di kantor saya tertib seperti yang ada dalam buku panduan “Seni Menyelenggarakan Rapat.” Dengan penuh kesantunan, yang kebetulan memimpin rapat mempersilahkan yang mau bicara. Kemudian yang mau bicara mengucapkan salam yang sudah pasti dijawab lirih dengan semua peserta rapat. Selanjutnya, terima kasih pada ketua rapat yang memberi kesempatan berharga.  Berusaha singkat, ya tapi bertele tele juga dalam memberi laporan inti. Terakhir, minta petunjuk. Dan paling akhir pakai mohon maaf segala kalau ada kesalahan. “Gak bakal gue maapin!” gerutu saya dalam hati.

Saya berani mengatakan saya seorang yang mngedepankan rasa hormat dan sopan kepada atasan atasan saya. Tapi saya menolak jika mereka menganggap saya seperti ‘daleman’. Tahu kan ada orang yang kadang kadang tega mempergunakan ‘daleman’ mereka walau sudah luntur, lusuh, robek atau kendor. Toh tidak kelihatan. Jadi melalui suara, gerak dan bahasa tubuh saya meminta atasan atasan saya juga memperlakukan saya dengan penuh hormat seperti ‘atasan’. Jangan coba coba memarahi saya tanpa alasan yang amat sangat teramat kuat.

Saya tahu, cara duduk saya yang berganti ganti posisi. Tarikan nafas dan menghembuskannya kembali sampai berdesah. Wajah saya dari yang tanpa ekspresi hingga sangat ekspresif menggambarkan perasaan saya yang jadi ingin mencekek mereka satu persatu.

Tapi, heran, saya tidak menguap-nguap ya. Padahal sudah beberapa hari ini saya kurang tidur, tidak bisa tidur tepatnya. Kalau saja saya ngantuk, saya tidak akan ragu menutup mata saya tertidur dalam rapat ini. Tapi, lagi lagi Tuhan tampaknya menguji kesabaran saya.

Bos masuk lagi ke ruang rapat. Dia menanyakan rapatnya sampai dimana. Dilaporkan lagi yang tadi sudah dilaporkan. Dan, akhirnya bos menanyakan, "Apa ada yang perlu dibahas lagi?" Saya segera berdoa, “Ya, Tuhan, mohon jangan, jangan, jangan ada lagi yang perlu dibahas.” Sekali lagi, Tuhan mungkin lagi lebih sibuk memberi kekuatan kepada korban banjir. Lagi lagi doa saya tidak diacuhkannya. Dan, saya lihat ada saja yang mengajukan lagi permasalahan.

Saya bersyukur, akhirnya, terdengar bak kidung pujian, suara bos, "Ya kalau tidak ada lagi. Kita sudahi rapat kali ini.”

Sejauh ini hujan tidak turun. Entahlah, mungkin ini karena doa para korban banjir yang tentunya lebih layak didengar oleh Tuhan.

Saya benar benar tengah kehilangan semangat untuk menunaikan pengabdian saya sebagai pegawai yang mustinya dapat diteladani oleh teman teman saya yang muda. Tapi, biarlah hari ini teman saya mungil dapat melihat sisi saya yang buruk.

Rasanya saya tidak ingin berlama lama ada di kantor. Rapat sudah selesai. Kemudian saya berkemas kemas memutuskan untuk pulang karena tampaknya mendung makin berat.

Baru sebentar saya berkendara hujan rintik turun. Ya, paling tidak, saya bisa menghibur diri akhirnya Tuhan mendengar doa saya.

Saya ingin turun dari mobil, memilih berjalan dalam hujan. Biar hujan membasuh keuringan saya. Tapi, itu jelas tidak mungkin. Saya hanya berusaha bersahabat menerima pasrah keuring-uringan saya dengan tabah. Mungkin, besok reda. Banjir saja selalu akan surut, pasti rasa di dada saya akan menyurut pula.

Betapa.

Tapi, hujan turun atau tidak. Seberapapun hujan dan badai mengecamuki hati saya. Paling tidak saya tahu Ia sayang saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline