Lihat ke Halaman Asli

Di Ujung Harapan yang Retak, Rintihan Rindu Tak Berujung

Diperbarui: 14 Agustus 2024   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Kling AI (https://klingai.com/) - Di Ujung Harapan yang Retak, rintihan Rindu Tak Berujung

Mentari senja perlahan memudar, menyisakan warna jingga yang meresap ke dalam langit kelabu. Di sebuah desa kecil yang terlupakan oleh waktu, seorang wanita tua duduk di teras rumah kayunya yang sederhana. Matanya menatap jauh ke cakrawala, seolah-olah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Rumah itu sunyi, begitu sunyi hingga deru angin pun terdengar bagai rintihan. Di dalam hati wanita tua itu, ada sebuah rasa yang telah lama ia pelihara---rindu yang tak pernah terbalas. Namanya Ratna. Di usia yang senja, ia menyimpan luka yang lebih dalam dari sekadar keriput di wajahnya. Setiap kali angin berhembus, Ratna seakan mendengar suara-suara yang pernah ia kenal, namun tak bisa ia gapai lagi.

Ratna memiliki seorang putra, Bayu, yang meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Bayu merantau ke kota besar dengan harapan dapat mengubah nasib keluarga mereka. Sejak kepergiannya, Ratna selalu menanti kabar dari putranya. Pada awalnya, surat-surat dari Bayu datang teratur, membawa cerita tentang kehidupan barunya yang penuh tantangan. Namun seiring waktu, surat-surat itu semakin jarang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Ratna tak pernah tahu mengapa, namun ia tak pernah berhenti menunggu.

Setiap hari Ratna memasak makanan kesukaan Bayu, berharap ia akan pulang tiba-tiba, mengetuk pintu rumahnya, dan memanggilnya dengan suara lembut yang selalu membuatnya tersenyum. Tetapi pintu itu tetap diam. Setiap malam, ia duduk di ruang tamu, memandangi foto Bayu saat masih kecil, mengingat senyum yang kini hanya tinggal kenangan. Senyuman yang telah lama menghilang bersama harapan yang mulai retak.

Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung di langit, Ratna terbangun oleh suara ketukan di pintu. Dengan hati yang berdegup kencang, ia bangkit dan bergegas menuju pintu, berharap bahwa Bayu akhirnya pulang. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu, namun yang ia temukan hanyalah angin malam yang dingin, membawa kabut tipis yang menyelimuti halaman rumahnya. Ratna berdiri di ambang pintu, memandangi kehampaan yang menyakitkan. Air matanya mengalir perlahan, menyadari bahwa harapannya telah berubah menjadi ilusi.

Hari-hari berlalu, dan Ratna semakin tenggelam dalam kesedihan. Tubuhnya melemah, namun rindunya kepada Bayu tak pernah pudar. Di penghujung hidupnya, Ratna hanya memiliki satu keinginan---untuk memeluk putranya sekali lagi, merasakan hangatnya tubuh yang dulu ia peluk dengan penuh kasih sayang. Namun, setiap kali ia menutup mata, yang datang hanya bayangan Bayu yang semakin menjauh, tak mampu ia gapai.

Akhirnya, pada suatu pagi yang tenang, Ratna ditemukan tertidur di kursi kayunya, dengan senyum kecil di bibirnya. Di pangkuannya, sebuah foto Bayu yang telah usang. Di ujung harapan yang telah retak, Ratna akhirnya menemukan kedamaian. Namun rindu yang ia bawa, tak pernah benar-benar berakhir. Itu adalah rintihan yang akan selalu hidup di dalam hati yang ditinggalkan oleh cinta yang tak pernah kembali.

Desa kecil itu tetap sunyi, seperti biasa. Namun, di rumah tua itu, kini hanya tersisa kenangan, dan rindu yang tak pernah terjawab. Seperti angin yang berhembus tanpa tujuan, rintihan rindu Ratna akan terus menyertai waktu, mencari sosok yang telah lama pergi. Di ujung harapan yang retak, ada cinta yang tak pernah berakhir---cinta seorang ibu yang akan terus menunggu, meski dalam keabadian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline