Lihat ke Halaman Asli

Tak Cukup Hanya Intelektual, Tapi Juga Moral!

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah sangat lama kita (bangsa Indonesia) disuguhkan dengan berita-berita yang (memang) menjadi kondisi tragis bangsa ini. Berita yang sepertinya biasa terdengar adalah kasus korupsi, yang pelakunya terus bergantian muncul layaknya seorang selebritis yang sedang naik daun. Sebut saja mulai dari kasus Gayus Tambunan, penggelapan pajak milyaran rupiah yang saat itu menjadi ‘judul utama’ media dalam beberapa waktu yang lalu. Kemudian muncul sosok Nazaruddin yang tak mau kalah untuk menjadi ‘selebritis’, namanya-pun kemudian melambung karena kasus korupsi yang juga miliyaran rupiah, dan diberi nama kasus Wisma Atlet. Lalu disambung lagi dengan nama Angelina Sondakh (Angie), dan Dhana Widyatmika yang semuanya adalah kasus pencurian uang Negara alias korupsi. Berikutnya entah siapa lagi, yang bakal jadi ‘selebritis’ dadakan.

Jika diperhatikan, mereka yang saya sebut diatas adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi, namun sayang (maaf) bermoral rendah. Intelektual ternyata tidak menjamin orang mempunyai moral.

Kasus-kasus korupsi yang biasanya dilakukan oleh mereka yang ber-intelektual tinggi menjadi fenomena tersendiri bagi Bangsa ini. Orang-orang yang sepatutnya menjadi harapan untuk kemajuan, malah menjadi borok bagi bangsanya sendiri. Sehingga muncul-lah istilah penjahat berdasi yang merampok dengan jas dan dasi. Yang mesti dikawal oleh puluhan orang saat akan diadili.

Trend korupsi (perampokan oleh kaum intelektual) tidak hanya terjadi dikota-kota besar seperti Jakarta dan kota besar lainnya. Daerah yang tergolong masih terpencil-pun tidak luput dari gerogot penjahat berdasi, mereka yang berintelektual tinggi tapi bermoral rendah. Seperti kasus korupsi mantan Bupati kepulauan mentawai, yang saat ini sudah mendekam di penjara. Ironis, ditengah kondisi daerah yang masih berkekurangan, ada yang tega mengambil kesempatan. Satu lagi kasus yang mulai ditangani oleh kejaksaan negeri mentawai adalah korupsi yang dilakukan oleh seorang guru (kepala sekolah) SMAN 1 PUS, Sikakap-Mentawai. Oknum kepala sekolah itu tega ‘menyunat’ beasiswa yang seharusnya diberikan kepada siswa yang rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu. Lebih parah lagi Kepala Sekolah nakal ini melakukan intimidasi kepada siswa-siswa, khususnya bagi siswa yang tidak tunduk dengan kehendaknya. Menurut pemberitaan puailiggoubat.com, Kepala sekolah tersebut tak segan-segan melakukan kekerasan dengan menampar bahkan meninju siswa yang tidak mau menurut perkataan beliau.

Kekerasan itu terjadi saat siswa tidak mau memberikan kesaksian palsu, tentang penerimaan beasiswa yang tidak sesuai dengan yang seharusnya mereka terima kepada kejaksaan yang mengusut kasus ini, begitu menurut pemberitaan media lokal mentawai tersebut. Siapa yang tidak geram mendengar pemberitaan seperti ini. Daerah seperti mentawai yang membutuhkan orang-orang intelektual untuk kemajuan-nya, justru malah dirusak oleh oknum yang berintelektual tetapi sekali lagi (maaf) bermoral rendah!.

Intelektual dan moral seharusnya berjalan sepadan, tidak dapat dipisahkan. Satu melengkapi yang lain, begitu sepatutnya. Tetapi budaya yang sedang merusak dengan halus dan perlahan, sedang menampakkan hasilnya. Budaya Pragmatisme. Contohnya dalam lingkungan kampus yang mencetak kaum intelektual, seorang mahasiswa akan dihargai ketika memiliki nilai akademis yang tinggi, walau tidak jelas bagaimana mahasiswa tersebut mendapatkan nilainya. Bisa saja nilai itu didapat dari hasil contekan, atau dengan cara lain. Berbeda saat seorang mahasiswa menjaga integritasnya (baca : moralnya) dalam mendapatkan nilai akademis, justru mahasiswa seperti ini yang akan dianggap aneh, sok idealis, bahkan dijauhkan dari pergaulan karena dianggap pelit.

Dalam lingkungan masyarakat juga terjadi budaya pragmatisme, biasanya mereka yang kaya akan mendapat tempat terhormat atau lebih dihormati dari mereka yang biasa-biasa saja. Walau tidak diketahui dari mana kekayaannya berasal. Budaya yang hanya melihat hal-hal praktis, nyata, dan aktual dengan mengesampingkan proses dan nilai objektif, membuat tekanan moral sebagai sesuatu yang harus dimiliki menjadi lemah. Penilaian banyak orang tidak lagi menyangkut moral (yang biasanya tidak tampak), tetapi apa yang tampak, termasuk tingkat intelektual semata dengan sejejer titel kesarjanaan. Sehingga rendahnya moral seorang intelektual tetap bercokol dalam dirinya karena tidak ada dorongan kuat untuk memperhatikan moralnya, karena bukan nilai norma masyarakat.

Tak cukup hanya intelektual, tetapi butuh moral. Moral tidak hanya didapat dengan sekedar melakukan aktifitas keagamaan. Tidak ada jaminan. Moral didapat dalam kemauan keras untuk memiliki keteguhan hati untuk melakukan kebenaran, dan bukan didapat dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline