Lihat ke Halaman Asli

Teladan Bagi [calon] Pemimpin Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih dalam semangat peringatan hari Pahlawan Nasional Indonesia, topik dan pembahasan tema kepahlawanan dalam kaitannya dengan kepemimpinan masih ramai mengisi media elektronik dan cetak dalam berbagai bentuk opini. Berbicara tentang kepahlawanan dalam konteks zaman ini, tentu bukan dalam budaya imprealisme, kolonialisme, perbudakan, atau peperangan fisik secara harafiah. Tetapi makna esensinya tetap mengarah kepada bentuk perjuangan atau perlawanan terhadap nilai-nilai yang mungkin sama dengan nilai budaya yang disebutkan tadi, yang tentu membawa dampak sangat buruk dan berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak. Nilai-nilai buruk ituterus hidup dan berlangsung bahkan berkembang berdasarkan perubahan zaman secara kontekstual, dan menjadi sistematis mengikuti pola-pola aktual pada masa sekarang ini. Seolah seperti teori Evolusi milik Charles Darwin yang luput dari seleksi alam dan hanya mengalami perubahan bentuk karena adaptasi yang baik. Budaya kolonialisme, imprealisme, dan perbudakan masih tetap ada, tetapi berubah kedalam bentuk yang unik, sifat dan nilai-nilainya sendiri masih tetap ada, dan tetap jahat dan merugikan.

Egosentris kelihatannya bentuk lain dari budaya yang hampir sama dengan imprealisme, kolonialisme, dan perbudakan yang menjadi trend pada zaman ini. Dan ketika [calon] Pemimpin Bangsa ini sudah terjebak dalam nilai egosentris itu, alhasil ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan kejahatan adalah makanan sehari-hari dan menjadi nilai yang wajar dan bangsa inipun akan berubah menjadi Bangsa Jahiliyah modern, sehingga kata Pemimpin akan menjadi asing karena maknanya yang bergeser.

Ditengah keapatisan Bangsa ini timbul pertanyaan, sudah adakah pemimpin yang menjadi telasan bagi [calon] Pemimpin saat ini? Jawabannya tentu sudah ada. Kita tidak perlu meminjam nama tokoh-tokoh dari bangsa lain yang begitu tersohor karena karya kepahlawanannya atau kepemimpinannya, karena kita punya putra-putri asli dari bangsa ini yang sudah menjadi teladan dan menorehkan sejarah indah bagi Derajat Bangsa Indonesia. Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri era rezim kediktatoran Presiden Soeharto, dalam tiga tahun masa jabatannya sebagai pemangku jabatan tertinggi di Kepolisian Negara Indonesia beliau menorehkan prestasi yang gemilang. Hoegeng, begitu biasa dia dipanggil melakukan pembenahan beberapa bidang menyangkut Struktur Organisani di tingkat Mabes Polri, sehingga hasilnya struktur yang baru terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Beliau terkenal dengan hidupnya yang amat sederhana, dan terkenal bersih dari korupsi, bahkan Jendral yang dianggap bersih sekalipun hidupnya cukup mewah begitu ditulis dalam salah satu buku yang mengangkat topik tentang Tokoh Hoegeng ini. Karena integritas dan kejujurannya, maka tidak berlebihan ada sebuah pernyataan yang mengatakan di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok:  polisi tidur, patung  polisi, dan Hoegeng!, bahkan mantan Presiden RI, Aburrahman Wahid (Gusdur) pernah mengaminkan pernyataan ini.

Dalam sebuah tulisannya di kompas (Kompas, 15 Juli 2004), Rosihan Anwar seorang wartawan senior menuliskan sejarah singkat tentang Hoegeng sampai akhir jabatannya, Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula. Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sungguh membanggakan melihat apa yang dilakukan oleh Hoegeng. Ditengah atmosfir kediktatoran rezim pemerintahan saat itu, beliau dengan berani dan tegas untuk menegakkan kebenaran, dan membuktikan bahwa hukum memang buta, tidak mengenal dan memilih orang yang melanggarnya. Kekuasaan dan harta tidak membuat putra bangsa ini lantas menjual hati nurani dan kebenaran yang dianutnya. Sosok yang sangat pantas untuk dikagumi dan dibanggakan.

Indonesia juga memiliki pemimpin wanita yang dikenal dengan integritas dan keseriusannya untuk menegakan hukum di Indonesia. Albertina Ho, seorang Hakim perempuan asal Ambon ini beberapa waktu lalu menjadi perbincangan dibeberapa media. Bukan karena ada kasus yang sedang dihadapinya, seperti yang dialami beberapa pejabat tinggi Indonesia baru-baru ini, tetapi karena ketegasannya menangani kasus dan juga dalam memberi pertanyaan-pertanyaan kepada terdakwa yang ditanganinya, hal ini terlihat saat media televisi menyiarkan secara langsung proses peradilan di pengadilan yang dipimpinnya terhadap beberapa kasus. Karirnya memang tidak terlalu menonjol, tetapi itu tidak lantas membuat publik tidak memperhatikan apa yang dia kerjakan. Sungguh bangsa ini membutuhkan tokoh seperti Albertina Ho, yang selain sebagai sosok yang sederhana, juga mencintai dan menghidupi tugas yang sudah dipercayakan kepadanya.

Selama 20 tahun menjadi hakim, Albertina kini tinggal di rumah dinas hakim di dekat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain mobil yang dibeli setahun lalu, hartanya hanya berupa sebuah rumah di Yogyakarta seharga Rp 90 juta, ditulis dalam sebuah artikel yang membahas tentang kehidupannya. Dia hanya mengandalkan gaji yang diterimanya sebagai seorang Hakim. Permohonan kreditnya sempat ditolak bank karena gajinya tidak mencukupi syarat untuk mencicil rumah. Untuk menutupi kekurangan kebutuhannya, Albertina sering meminjam di koperasi pengadilan. Saat menjabat Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Marianna Sutadi, beliau sering menolak tamu yang ingin bertemu dengan Marianna, karena dia tahu bahwa hakim dilarang untuk menemui pihak berperkara. Bahkan saat menjadi hakim yang menangani kasus, Albertina terkenal sebagai hakim yang menolak kunjungan dari pengacara pihak berperkara yang datang kerumahnya dan menolak semua “pemberian” yang ditawarkan. Tidak hanya itu untuk “mensterilkan” putusan, beliau mengetik sendiri hasil putusan itu sehingga tidak jarang harus membawa pekerjaan kerumah, asalkan hasil putusan itu tidak sampai bocor. Sungguh teladan yang menakjubkan.

Pasti tidak sedikit orang yang jujur dan bersih saat ini, tapi tidak semua dari mereka yang berani menjadi inspirasi dan motivasi bagi perubahan kolektif seperti yang dilakukan oleh Hoegeng dan Albertina. Karena teladan itu bisa saja menimbulkan resiko. Mereka adalah inspirasi dan motivasi bagi [calon] Pemimpin Bangsa ini. Yang tidak terikat oleh nilai-nilai budaya imprealisme, kolonialisme, egosentris pada zaman ini. Yang mengambil kesempatan untuk memperbudak dan menguasai hidup orang lain. Tetapi sebaliknya muncul sebagai pejuang yang membangun budaya tanding untuk melawan budaya buruk tersebut, yang tidak mengenal dan anti dengan egosentris.

Kita sedang membutuhkan Hoegeng dan Albertina lain, yang memimpin bangsa ini karena kecintaan dan ketulusannya. Bukan karena kekuasaan, harta, dan kenyamanan hidup. Merekalah teladan bagi [calon] Pemimpin Bangsa ini, yang akan mininggikan Derajat Bangsa Indonesia, karena Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa, dan Kejahatan adalah Noda Bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline