Lihat ke Halaman Asli

Gangguan Seksual Pedofilia

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

PEDOFILIA

A.Gambaran klinis gangguan

Menurut DSM, pedofil (pedos, berarti “anak” dalam bahas Yunani) adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual melalui kontak fisik dan sering kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. DSM IV-TR mensyaratkan para pelakunya minimal berusia 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. Namun, penelitian tampaknya tidak mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofil lebih menyukai anak-anak prapubertas, beberapa diantaranya menjadi anak-anak pascapubertas sebagai korbannya, yang secara hukun belum cukup umur untuk diperbolehkan melakukan hubungan seks dengan orang dewasa (Marshall, 1997).

Pedofilia  lebih banyak diidap oleh laki-laki daripada perempuan. Gangguan ini seringkali komorbid dengan gangguan mood dan anxietas, penyalahgunaan zat, dan tipe paraphilia lainnya (Raymond dkk., 1999). Pedofilia bisa homoseksual atau heteroseksual. Dalam beberapa tahun terakhir, internet memiliki peran yang semakin besar dalam pedofilia. Para pedofil memanfaatkan internet untuk mengakses pornografi anak dan untuk menghubungi calon-calon korbannya (Durkin, 1997).

Kekerasan jarang menjadi bagian dalam pencabulan tersebut meskipun hal itu dapat terjadi, seperti yang kadang menarik perhatian orang dalam bebrbagai besar di media. Namun, meskipun sebagian besar pedofil tidak melukai korbannya secara fisik, beberapa diantaranya sengaja menakut-nakuti si anak dengan, misalnya, membunuh hewan peliharaan si anakdan mengancam akan lebih menyakitinya jika si anak melapor kepada orangtuanya. Kadang pedofil senang membelai rambut si anak, namun ia juga dapat memanin-mainkan alat kelaminnya, dan lebih jarang terjadi mencoba memasukkannya ke alat kelamin si anak. Pencabulan tersebut dapat terus berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain atau jika si anak tidak memprotesnya.

Sejumlah kecil pedofil, yang juga dapat diklasifikasikan sebagai sadistis seksual atau berkepribadian antisosial (psikopatik), menyakiti objek nafsu mereka secara fisik dan menyebabakan cedera serius. Mereka bahkan dapat membunuhnya. Para individu tersebut, apakah psikopat atau bukan, mungkin lebih tepat disebut pemerkosa anak dan secara fundamental berbeda dengan pedofil terkait keinginan mereka untuk menyakiti si anak secara fisik minimal sampai mereka mendapatkan kepuasan seksual (Groth, Hobson, & Guy, 1982).

Kriteria Pedofilia dalam DSM-IV-TR


  1. Berulang, intens, dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan melakukan kontak seksual dengan seorang anak prapubertas.
  2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau masalah interpersonal.
  3. Orang yang bersangkutan minimal berusia 16 tahun dan 5 tahun lebih tua dari anak yang menjadi korbannya.

B.Faktor – Faktor Penyebab

Berdasarkan data dari berbagai studi pletismografi penil, mengkonfirmasi bahwa laki-laki yang mencabuli anak-anak yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka mengalami gairah seksual ketika  melihat foto-foto anak-anak yang tidak berpakaian.  Kadangkala pornografi anak dianggap sebagai factor penting yang memotivasi beberapa orang untuk melakukan pencabulan anak, namun sebuah studi yang belum lama berselang terhadap 11 orang pria pedofil mengindikasikan bahwa material semacam itu bahkan bisa tidak diperlukan. Para laki-laki tersebut terangsang oleh berbagai material media yang sangat mudah didapat, seperti iklan televise dan katalog pakaian yang menampilkan anak-anak kecil memakai pakaian dalam. Dengan kata lain, daripada menggunakan material pornografis yang terang-terangan, para laki-laki tersebut tampaknya menciptakan sendiri material yang menyebabkan gairah seksual didalam pikirannya dengan menggunakan berbagai sumber yang secara umum dipandang tidak provokatif (Howitt, 1995).

Konsumsi alkohol dan stress meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mencabuli anak. Bukti mutakhir juga menunjukkan bahwa pencabul anak memiliki fantasi seksual tentang anak-anak disaat mood mereka negative, mungkin sebagai cara mengatasi disforia yang mereka rasakan, meskipun demikian, fantasi pedofilik tampaknya juga memperarah afek negative. Data juga menunjukkan bahwa pedofil memiliki kematangan social, harga diri,

pengendalian impuls, dan keterampilan social yang rendah (Kalichman, 1991). Sebagian besar pedofil heteroseksual yang sudah lebih tua usianya telah atau pernah menikah.

Sekitar 50 persen pedofil dewasa mulai melakukannya si awal remaja. Para remaja tersebut umumnya memiliki keluarga yang penuh kekacauan dan negative. Keluarga mereka sering kali kurang memiliki struktur dan kurang memberikan dukungan positif (Blaske dkk., 1989). Banyak diantara remaja tersebut juga mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak. Mereka yang melakukan pencabulan anak lebih terisolasi secara social dan memiliki keterampilan social yang lebih rendah dibandin kelompok sebaya yang berurusan dengan hokum karena kejahatan nonseksual. Berbagai masalah akademis juga umum terjadi. Secara umum para remaja laki-laki tersebut adalah mereka yang dianggap oleh banyak orang sebagai “penjahat remaja”, sering berurusan dengan polisi karena berbagai macam pelanggaran hukum. Tidak mengherankan, gangguan tingkah laku dan penyalahgunaan zat adalah diagnosis komorbid yang sering kali ditegakkan bagi para remaja tersebut. Agak lebih mengejutkan lagi, depresi dan anxiety juga merupakan ciri umum, mungkin dibalik eksploitasi semena-mena yang mereka lakukan kepada anak-anak, orang-orang tersebut sangat tidak bahagia dalam hidupnya.

C.Pandangan Teori Psikologi Terhadap Gangguan

Pedofilia dalam pandangan behaviorisme

Menurut behaviorisme perilaku menyimpang dapat terjadi karena didukung oleh kombinasi antara paparan model, definisi melalui asosiasi yang salah, tidak adanya efek buruk dari perilaku dan atau sangsi negative dari lingkungan social dan hukum. karenanya, pedofilia terjadi dapat dijelaskan melalui:

1.Paparan model dari lingkungan

Perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi berdampak pada makin pesatnya globalisasi. Dunia tak ubahnya sebuah kampung. Semua terasa dekat, batas-batas antar negara semakin tak terlihat. Informasi dari seluruh belahan dunia menjadi sangat musah dijangkau.

Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar bersifat positif. Budaya permisif dan liberal di dunia barat pun dengan mudah di akses oleh semua orang. Dan tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai model social.

Informasi negative tersebut tidak hanya dari internet yang cenderung lebih bebas. Film dan acar hiburan televise, novel dan bacaan lainnyapun turut andil dalam pemodelan ini. Bahkan berita televisi, yang juga berfungsi sebagi control sosialpun ikut serta menguatkan model social negative (utamanya berita-berita criminal). Dan informasi yang banyak beredar utamanya mengenai pornografi dan seksualitas.

Pada kasus pedofila, pemodelan mungkin terjadi saat pelaku pencabulan tersebut pernah menjadi korban saat masih kecil. Dan saat tumbuh dewasa, ia meniru perilaku yang dia alami saat kecil.

2.Kesalahan Asosiasi

Ditinjau dari aspek ini, perkosaan dan pencabulan anak bisa terjadi saat pelaku salah mengasosiasi perempuan atau anak kecil sebagai objek pelampiasan seksual. Atau mengasosiasi perempuan, anak-anak yang berada dalam bimbinganya sebagai miliknya/dikuasainya. Sehingga ia dapat berbuat apa yang ia inginkan terhadap mereka.

Pedofilia dalam pandangan Psikodinamika

Pedofilia dipandang oleh para teoretikus psikodinamika sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpres dan mencerminkan fiksasi di tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap pedofilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan heteroseksual yang wajar, bahkan terhadap hubungan heteroseksual yang tidak melibatkan seks. Perkembangan social dan seksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak memadai untuk dapat menjalin hubungan social dan heteroseksual orang dewasa pada umumnya (Lanyon, 1986).

D.Tindakan Prevensi yang Harus dilakukan

Untuk mengatasi masalah seksual terutama pedofil, berikut ini beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah timbulnya permasalahan tersebut :

1.Ciptakan situasi yang memungkinkan perkembangan emosional yang sehat pada anak-anak.

2.Berikanlah pendidikan seks yang sehat sedini mungkin yang disesuaikan dengan daya tangkap mereka tanpa menutup-nutupi realitas, baik yang meliputi proses kehamilan pada wanita maupun proses kelahiran dari rahim ibu.

3.Berikanlah ilmu kesehatan seksual.

4.Di Negara-negara bagian AS mengesahkan undang-undang yang lebih efektif mengenai pelaporan tentang pencabulan, seperti mewajibkan para professional perawatan kesehatan dan para guru untuk melaporkan penganiayaan anak jika mereka memiliki dugaan tentang hal itu, kasus yang menguatkan menjadi meningkat sebanyak 50 hingga 500 persen.

Terapi Pedofilia

Penanganan kognitif

Prosedur kognitif sering kali digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran pada individu yang mengidap pedofilia. Contohnya seorang eksibisionis dapat mengklaim bahwa anak perempuan yang menjadi sasarannya terlalu muda untuk merasa terluka karena apa yang dilakukannya. Terapis akan meluruskan distorsi tersebut dengan mengatakan bahwa semakin muda usia korban, akan semakin negative efeknya bagi si korban (Maletzky, 1997). Pelatihan empati terhadap orang lain merupakan teknik kognitif lainnya; mengajari pasien untuk memikirkan bagaimana efek perilakunya terhadap orang lain dapat mengurangi kecenderungan penjahat seksual untuk melakukan tindakan semacam itu. Pencegahan kekambuhan, menggunakan terapi untuk penyalahgunaan zat sebagai model, juga merupakan komponen penting dalam berbagai program penanganan.

Secara umum, pendekatan kognitif dan behavioral sudah semakin canggih dan lebih luas lingkupnya sejak tahun 1960an ketika pengidap pedofilia hampir sepenuhnya dianggap sebagai ketertarikan seksual yang telah dikondisikan secara klasik terhadap stimuli lingkungan yang tidak tepat. Dalam banyak kasus terapi yang diberikan menggunakan pendekatan Master dan Johnson sebagai model, dengan asumsi bahwa beberapa pengidap pedofilia terjadi atau tetap dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang dewasa yang menjadi pasangan si pengidap (Marshall & Barbaree, 1990). Secara keseluruhan, baik program-program yang dilakukan di dalam atau di luar institusi yang menggunakan model kognitif-perilaku untuk para penjahat seksual mengurangi residivisme lebih dari yang dapat diharapkna bila tidak diberikan terapi sama sekali (Maletzky, 2002). Hasil-hasil tersebut jauh lebih baik pada para pencabul anak disbanding pada para pemerkosa. Meskipun para penjahat seksual umumnya lebih banyak menimbulkan rasa jijik dan takut dari pada perhatian tulus dari masyarakat, masyarakat sering kali mengabaikan fakta bahwa berbagai upaya untuk menangani orang-orang semacam itu, meskipun jika efektivitasnya minimal, tidak saja hemat biaya, namun juga memungkinkan untuk melindungi orang lain bila orang yang bersangkutan dibebaskan dari penjara (Prentky & Burgess, 1990)

E.Contoh Kasus

Kasus I Pedofilia  Heteroseksual

Seorang kakek (72 tahun) baru dua minggu ditinggal mati oleh istrinya. Ia mengeluh pada tetangga sebelah bahwa ia tidak sanggup tidur dirumah sendiri karena selalu terkenang pada istrinya.

Tanpa menaruh curiga, tetangga menawarkan agar kakek tersebut tidur dengan anak perempuannya yang baru berusia 8 tahun. Anak perempuan itu rupanya juga sangat saying pada kakek yang “baik hati” dan ia sudah menganggap sebagai kakeknya sendiri. Anak ini sering siberi uang jajan setiap akan pergi ke sekolah antara Rp.500 ,- hingga Rp.1000,-. Pada suatu pagi, anak itu menangis ketika buang air kecil karena kesakitan. Ternyata, pada organ genitalnya terdapat luka. Setelah ditanya berulang-ulang oleh ibunya, dengan taku si anak menceritakan bahwa ia telah diperlakukan oleh kakek tersebut. anak tersebut belum mengerti dirinya diapakan oelh si kakek, ia hanya merasa sakit. Selain itu, ia juga mendapat ancaman dari si kakek untuk tidak menceritakan apa yang telah terjadi pada siapapun. Kata kakek, kalau bercerita ia akan dicubit sampai mati. Ketika kakek itu ditanya, ia mengaku bahwa dirinya tidak mampu menahan nafsunya setelah melihat rok anak tersebut tersingkap sewaktu tidur.

Pedofilia mungkin merasa impoten atau merasa tidak mampu untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada wanita dewasa. Biasanya, kecenderungan ini muncul setelah pertengkaran dengan istri atau direndahkan oleh teman-temannya. Akan tetapi pada kasus ini perilaku seksual yang dilampiaskan tehadap anak tersebut bisa disebabkan oleh karena istri meninggal dunia dan kurang berani untuk melampiaskan nafsu tersebut pada wanita dewasa diluar pernikahan. Moral yang rendah pada kakek inipun merupakan salahsatu factor penyebab perilakunya tersebut. kecuali itu, kebencian, kemarahan, dan dendam terhadap wanita juga akan melatarbelakangi perilaku pedofilia.

Kinsey menambahkan bahwa penurunan reaksi erotik, kehilangan kapasitas untuk penampilan dan penurunan kehidupan emosi dari seirang individu yang disebabkan oleh rasa kesunyian dihari tua, baik sebagai orangtua atau kakek mendorong seseorang untuk menguasai atau menarik perhatian anak-anak tetangga atau bahkan cucunya sendiri. Disisi lain, anak-anak belum mengerti samasekali akan mekanisme koitus, sehingga mereka menginterpretasikan pendektan “kakek” sebagai salah satu bentuk rasa kasih saying yang diberikan orang dewasa kecuali orang tuanya sendiri. Anak-anak  tidak memahami bahwa perlakuan kakek merupakan usaha perkosaan.

Kasus II Pedofilia Homoseksual

Seorang anak laki-laki (15 tahun), menderita anxiety neurosa, pengalaman traumatic yang ia alami terjadi ketika berusia 13 tahun, saat duduk di kelas 1 SMP. Pada saat itu, guru matematikanya seorang pria berumur kira-kira 25 tahun, mengundangnya ke rumah dengan alasan akan diberi tambahan pelajaran. Tetapi, ternyata ia dipaksa untuk melakukan oral genital oleh guru tersebut dengan ancaman akan diberi nilai 3 untuk pelajaran matematika di rapot. Disamping itu, gurunya juga memainkan alat genitalnya sehingga iapun merasakan adanya rangsangan seksual.

Pengalaman ini begitu mengesankan, sehingga ia terpaku dan bahkan setelah kejadian pertama justru ia sendiri ketagihan dan ingin mengulang perbuatan tersebut. Sehingga, terbinalah relasi pedofilis homoseksual.

Akan tetapi di pihak lain, ia merasa sangat berdosa karena perilaku itu sangat bertentangan dengan ajaran agamanya. Ia menderita ketegangan psikis dan menjadi neurotic. Konsentrasinya terganggu serta prestasi belajarnyapun semakin menurun dan ia merasa telah gagal dalam hidup. Kegagalan demi kegagalan saling tumpang tindih disertai oleh peningkatan derajat ketegangan emosional dan keterpakuan terhadap perilaku homoseksualpun semakin tertanam.

Rujukan :

Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. (2006). Psikologi Abnormal (9th edition). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. (2000). Abnormal Psychology In A Changing World (4th edition). New Jersey: Prentiee Hall.

Butcher, James, N., Susan Mineka, Jill, M.H. (2008). Abnormal Psychology Core Concept. Boston USA : Pearson.

Sadarjoen Sawitri Supardi (2005). Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT. Refika Aditama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline