Transformasi Otomatis dan Keselarasan Strategis: Masa Depan Sistem Informasi dengan MDD
Pengembangan sistem informasi telah mengalami evolusi signifikan dalam dua dekade terakhir. Salah satu pendekatan yang mendapat perhatian luas adalah Model-Driven Development (MDD). Dalam artikel "Challenges for Model-Driven Development of Strategically Aligned Information Systems" karya Noel, Panach, dan Pastor (2022), dijelaskan bahwa MDD menawarkan peluang unik untuk menyelaraskan tujuan organisasi dengan desain sistem informasi melalui model konseptual.
Namun, di tengah potensi tersebut, terdapat tantangan yang tidak bisa diabaikan, khususnya dalam hal pelacakan informasi strategis dan transformasi otomatis antar-level model.
Artikel ini mengungkapkan data menarik, misalnya, lebih dari 50 inisiatif pengembangan kode berbasis model telah muncul sejak tahun 2015, namun banyak yang belum diadopsi secara luas di industri. Salah satu alasan utama adalah kurangnya kemampuan untuk menangani kompleksitas dalam menghubungkan strategi bisnis, proses organisasi, dan model sistem informasi (Noel et al., 2022).
Tantangan ini semakin relevan ketika organisasi menghadapi lingkungan yang terus berubah. Sebagai contoh, penelitian mencatat bahwa hanya sekitar 35% organisasi yang merasa bahwa sistem informasi mereka benar-benar mendukung tujuan strategis bisnis (Mintzberg, 1987; Kitsios & Kamariotou, 2019).
Dengan kebutuhan akan sistem yang responsif terhadap strategi, MDD menjadi pilihan menarik karena memungkinkan otomatisasi hingga 80% pengembangan sistem dari model konsep, menurut penelitian Ruiz et al. (2015).
Namun, transformasi otomatis ini kerap menemui hambatan akibat kekurangan semantik yang kuat dalam model yang digunakan, seperti i* dan Communication Analysis. Hal ini menunjukkan pentingnya investigasi terhadap metode baru atau peningkatan pada metode yang ada untuk memastikan kelancaran transformasi informasi.
***
Tantangan utama dalam Model-Driven Development (MDD) yang diidentifikasi Noel, Panach, dan Pastor (2022) adalah kurangnya konstruksi model yang memadai untuk merepresentasikan informasi strategis organisasi. Salah satu contoh adalah kerangka kerja i*, yang sering digunakan dalam pemodelan strategi organisasi.
Meskipun kerangka ini memiliki kemampuan untuk memodelkan dependensi sosial antaraktor, artikel ini menunjukkan bahwa construct deficit menjadi hambatan signifikan. Data menunjukkan bahwa 60% kegagalan implementasi strategi bisnis disebabkan oleh ketidakmampuan untuk secara efektif menerjemahkan tujuan strategis ke dalam proses operasional dan sistem informasi (Giraldo et al., 2018).
Selain itu, transformasi otomatis dari level organisasi ke level proses bisnis sering kali kehilangan informasi kritis. GoBIS, salah satu teknik transformasi yang digunakan dalam penelitian ini, hanya mampu menangkap sebagian elemen strategi organisasi menjadi proses bisnis. Misalnya, informasi terkait struktur organisasi sering kali tidak dimasukkan ke dalam proses bisnis, sehingga menyebabkan fragmentasi model.