Sungguh sebenarnya saya tidak mau
menulis ini namun data BPS itu semakin mematik hati nurani saya.Terutama sebab data BPS di counter juga dengan data index kebahagiaan dan ini rancunya kok iso.
Sebuah lingkaran kebahagiaan semu, dan juga bisa jadi pejabat di sini macam macan kertas dengan milyaran rupiah anggaran desa kok masih banyak yang "kere" istilah lain dari kemiskinan absolut di tiga kabupaten selatan Jogja.
Semoga kita bukan balungan kere (lagu) dan ojo dibandimg-bandingke daerah lain benar adanya.
Jogja setidaknya tinggi indek kebahagiaanya se Indonesia namun pameo mangan ora mangan waton kumpul sudah saatnya di reduksi
Soal data BPS kita harus makluk iti realira di lapangan juga di pinggir-pinggir kota kabupaten yang lahannya semakin sempit karena kalah dengan bisnis perumahan banyak buruh tani, petani nganggur bahkan penjual rumputpun juga masih bertahan dengan ke kereannya untuk sambung hidup mereka sendiri.
Para tukang batu, buruh lepas, asongam tidak peduli dari data BPS tersebut. Sebab yang mereka cari itu sesuap nasi bukan sebuah data!
Lalu kemana orang pintar, akademisi san mahasiswa militan pro rakyat itu kok pada diam dengan kekerean Jogja ini?
Coba kita rubah memtal miskin dan kekerean dijogja ini mulai dari diri kita dulu .
Poya motiq poya ho ho
Tidak punya duit tidak apa-apa