Temaram senja di ujung Malioboro
Kita harus maju
Menuju kota masa depan
Yang kedepankan prestese daripada nurani
Semua yang kumuh harap minggir
Demi tata kota yang cantik
Semua menjadi genit
Sebelum semua terlanjur sunyi
Setelah hiruk pikuk pagi dan sore didera kemacetan setengah abadi
....
Aku duduk diantara kursi setengah hindis setengah kolonial gayanya. Dulu teriak tukang parkir ini masih terdengar didepan toko dan pasar Beringharjo ini.
Dulu masih terdengar suara guyon pengemudi becak kayuh dan guyub. Angkringan berubah cafe, sedang tukang becak diganti ojek online. Sementara kusir dan andongnya di ganti taksi dan travel.
"Semua masih di pertahankan" kata sang penguasa kebenaran.
"Mempertahankan secuil hajat hidup orang banyak?" Tanyaku
"Asal mereka bisa senyum beres to mas?" Aku diam pantes mantan walikota yang kaya itu masih mau ngopeni duit receh pengusaha.
Aku diam kemajuan bukan dilihat dari
Senja diujung kota yang sedang berubah walau kestatisannya mulai luntur.
'Kabeh, semua dinamis mas,"kata mas Bagong kepadaku.
Mas Bagong langganan angkringanku masih setia walau harus manut untuk pindah sana dan sini.
"Trotoar di bangun pedestrian untuk dinikmati tapa terganggu teriakan pengasong dan nyanyian pengamen"
"Niku, itu lebih bagud to mas?"
"Ning niku, ya itu kehilangan ranah, rasa sosialnya"
"Mereka lupa, bahwa dibalik tenda PKL itu ada nilai yang mulai pudar"
"Tidak juga mas wong saya juga masih bisa cari makan "
Tawa kami pecah rasanya masih banyak sedulur, saudara yang entah buat aku sebenarnya tidak bosen untuk bersilahturahmi jalanan ini.
"Mas gatot sudah tak tunggu di depan Pasar beringharjo" tulis pesan Genduk ndari di hpku yang buat mood ku hilang karena teh panasnya belum juga aku habiskan.
"Maaf mas bagong semua berapa?"
"Sepuluh ribu saja"
"Ini duapuluh ribu"
"Masih kembali mas..."
"Ambil saja"
Jogja sedang berubah menuju jalanan sunyi pedestrian karena klasiknya masalah kemacetan.