Lihat ke Halaman Asli

Sayyid Jumianto

Menjadi orang biasa yang menulis

Sebait Puisi di Pinggir Trotoar Malioboro

Diperbarui: 30 Oktober 2022   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.prialsayyidja

Sebait puisi  dipinggir trotoar

..Melihat lorong penuh kenanganseperti burung bebas di belengggu kurungan
hujan tidak bisa biaskan kenangan
Arti kata hati
Hilangnya derai tawa spontan

...

Tak terasa kenangan itu menjadi nyata untuk membalikkan keadaan saat ini.
Gerimis akhir oktober yang entah kesekeian kalinya aku rasakan.
Kuliah kehidupsn nyats ditengah hedonisnya dunia saat ini.

Mengenang penjual wedang ronde dengan guyonan yang khas itu. Sepertinya ada rindu yang dalam.

 Ketika semua nilai berubah menjadi angka dan uang. Sebab sejengkal tanah di Jogja sudah di pajeki.
Saat waktu dinilai senbagai disiplin yang bernafas uang.
Jangan kaget kalau semua jalanan tiap pagi dan sore macet.

Becak kayuh tergusur becak motor, ojek kampung tergerus ojol hanya andong dan sepeda yang bertahan terhadap perubahan zaman.


Orang belanja tinggal klik demi kemudahan pedestrian di bangun untuk nyaman pejalan kaki.


"Haruskah pedagang PKL tergusur oleh toko waralaba dan pasar tradisional tergantingkan mall dant oserba" keluhku.

Sawah tergusur proyek nasional sebentar lagi jalur tol mencaplok tanah pekarangan dan pertanian akan lunas terganti rupiah tanpa solusi. Setelah huru hara bandara yang berakhir semua harus manut yang diatas.

Arjuna tahu jogja baru berubah kelak penyatuan Joglosemar antara Jogja, solo dan semar sebuah retorika metropolitan kebudayaan adalah nyata.
Walau semua sudah paham bahwa bisnis bisa kalahkan nasib dan budaya orang Jogja itu bukan sebuah ke khawatiran diatas kertas namun ada di kehidupan nyata disini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline