Lihat ke Halaman Asli

Sayyid Jumianto

Menjadi orang biasa yang menulis

Suara Muadzin yang Ditunggu Selama Bulan Ramadhan

Diperbarui: 6 April 2022   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

"Sholawatan  yang di batasi lima menit dan juga anjuran untuk himbaun sahur yang tidak boleh di perkeras  lewat toa nampaknya membuat sedikit hambar puasa  bulan ini "ibarat sayur kurang garam"

Ramadhan 1443 H  tahun 2022 ini sungguh istimewa karena tahun "pembebasan " bagi umat Muslim di republik ini karena hampir dua tahun seras terbelenggu oleh wabah covid 19, dan inilah  tahun 2022 ini adalah tahun yang menggembirakan bagi kami untuk merayakan kembali bersama ibdah puasa ramadhan 1443 H ini .

Keceriaan yang tanpa skat walau di balik masker sudah terasa sejak di  sidang isbat menentukan awal puasa yang hampir seminggu ini kita lampui dengan aman dan tenang walau ada perbedaan beberapa ormas keagamaan di negeri ini mendahului puasa karena bedanya penentuan hilal dan rukyat dan pengumuman resmi pemerintah sungguh membuat hati ini plong walu masgul karena kok tidak hari jumat di mulai puasanya sperti ormas tersebut ini menjadi penilaian tersendiri dari pemerintah, penengah serta sekaligus memadukan perbedaan besar penentuan hari  di mulai puasa ramadhan 1443 di tahun 2022 ini dimualai awal April kemarin.

Nuansa kegembiraan itu sepertinya masih menyeruak karena besok di ijinkan kembali mudik lebaran dengan syarat tertentu dan inilah yang menambah semangat kaum rantau, pembelajar dan pengusaha serta pelajar yang menuntut ilmu di Jogja sungguh sebuah amalan yang tidak bisa kita hindarkan, ramadhan yang membuat gembira walau apa-apa naik harganya tetap bagi kami skeluarga sungguh gembira mengharap pahala dari Allah swt dan ampunan segala dosa kami  itulahharapan kami.

Sungguh bagaimanapun semodern dan sepandai kita tetap harus bisa memanfaatkan momentum ramadhan kali dengan sebaik- baiknya karena kita  tidak bisa menebak lagi apakah bisa nanti kita menemukan lagi bulan ini tahun depan dan inilah yang membuat kami sedikit lega walau ramadhan tahun ini ada yang terasa hampa.

Toa-toa  di masjid dan mushola di perkotaan seakan lirih dan halus terdengar , tidak ada lomba antar mushola dan masjid untuk memperkeras speakernya dan inilah mengapa para takmir mggikuti anjuran kementerian agama untuk melirihkan alias membuat pelan suara-suara toa  adalah nyata adanya.

Sholawatan  yang di batasi lima menit dan juga anjuran untuk sahur yang tidak boleh di perkeras nampaknya membuat sedikit hambar puasa  bulan ini "ibarat sayur kurang garam" kata istriku dan kakak aku ketika kami sengaja berbuka puasa di  rumah simbok tempat istriku di lahirkan.

"biasanya ramai mas, sholawatan lewat toa masjid, sekarang sepi " imbuh istriku lagi

"basa saya mawon kok dik" kata kakak ipar aku

waktu  kami berbuka puasa bersama  di meja makan  secara sederhana  sambil menikmati suasana desa  di    barat kota Jogja ini.

Kami maklum adanya kebebasan atas nama toleransi ini sudah sampai juga di desa ini walau  begitu masjid-masjid di kota Jogja  juga mengikuti aturan ini, alasan tolerasni dan kerukunan antar umat beragama adalah maklum adanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline