Jejak bapak, 1965: Mata angin
Sayyid jumianto
Sadar tidak sadar ternyata pandemi covid ini seakan kembali ketidak pastian ekonomi dan kesehatan seperti era 1960an.
Ini bukan wacana berdikati atau buat uang unttuk atasi inflasi sekarang semua lemas karena virus corona. Beda banget karena era tahun 1960an orang terpana dengan politik sebagai panglima.Apakah kamu tahu hujan salah mangsa september tahun ini seperti hujan air mata september 1965? Pertanyaan yang panjang jawabannya karena campur aduknya ketulusan , fitnah, hasut dan balas dendam yang dilandasi nafsu kekuasaan yang butakan semua anak bangsa kala itu.
September tahun ini sungguh tidak bisa lupakan bapak. Sedih karena pandemi ingatkan lukisan bapak tentang dewi durga yang ada di candi yang konon mau memakan anaknya sendiri.
Memang beda september tahun ini dewi durga itu masih mempunyai anak sang Kalla yang ternyata masih bisa menelan mentah-mentah anak-anak bangsa yang terlena "janji surga" dunia yang semu ini.
Sang kalla hari ini seakan kembali berjaya lagi berwujud media sosial yang bisa membuat hitam putih kebidupan kita.
Juga sang kalla menebar wabah yang tak terperi, jutaan manusia diuji wabah corona ini banyak yang khalis ing sambikolo, sehat dan bugar, tetapi banyak juga yang meninggal dan membuat sedih karena kehilangan.
"Lukisan itu benar adanya, ibu menelan anaknya, anak membunuh bapaknya",kata kakak padaku. "Revolusi yang buat perih rasa kemanusiaan kita" jawabku sederhana.
Fakta dan data semakin nyata karena pintu sudah jelas ditutup untuk sebuah kajian untuk mencari pembenaran tetapi kisah-kisah nyata turun temurun masih beredar dari mulut ke mulut yang selalu sisakan pertanyaan bahwa keadilan hakiki bel bisa ditegakkan di negeri pancasila ini.