Pasrah gula jawa jadi harapan kami
Sayyid jumianto
Hampir dua tahun pandemi corona ini semakin nyata. Korban sudah berjatuhan, sakit, terjangkiti, sembuh dan meninggal itu bukan data tetapi realita
Sungguh pembatasan wilayah membuat saya yang bekerja mengajar nglaju dari Bantul ke Kulon progo menjadi batu ujian sendiri.
Jadwal PTM kepada murid dengan orang tua yang mengambil tugas offline berbanding terbalik dengan jadwal dari dinas dikpora. Jadwal piket yang minimalis itulah yang entah mengapa saya jadi setengah pengangguran setengah kerja.
Istriku berbisik padaku"mas cari potensi yang ada dikokap(kecamatan ) tempat sekolahku berdiri. "Apa ya dik, kelapa, gula jawa, gula semut atau kakao(coklat biji)" aku benar-benar blank tentang potensi yang bisa aku buat "bisnis" kala itu.
Tiba-tiba saya ingat tentang potensi gula jawa yang ada di sini tetapi saya ragu. Tetapi ragu ini saya tepis ketika wali murid yang ambil tugas offline membawa sekarung plastik gula jawa. Sekitar 20 kilo saya iseng bertanya "bu sekilo berapa?" "Kalau untuk mas guru saya beri gratis" jawab wali muridku "maaf bu saya mau beli dan bertanya harga pasarannya, serta ini buat sendirikah?" Tanyaku padanya.
"Ya pak buat sendiri mau saya bawa ke pasar wates untuk perkenalan rp. 15.000/kg saja" jawabnya lugas padaku. Inilah kesempatan pertamaku aku ambil lima kilogram sekaligus tanpa bertanya pada istriku dirumah.
Sore itu aku pulang kerumah ragu itu aku tepis untuk sampaikan "usaha sampinganku" menjadi pengepul gula jawa.