Lihat ke Halaman Asli

Sayyid Jumianto

Menjadi orang biasa yang menulis

Pathok Bandara, Sebuah Novel 35

Diperbarui: 17 Maret 2016   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alsayidja.paint"][/caption] ini cerita yang kemarin : http://fiksiana.kompasiana.com/alsayidjumianto/pathok-bandara-sebuah-novel-34_56e92444c623bd17300bf353

Benar kat simbok seperti lautan yang diselatan desa kami, laut pantai pucuk tebu dan pelabuhan baru  tanjung negara besar adalah kenyataan yang tidak bisa aku sembunyikan sebagi bahan "lari" sebagaian pernah aku susuri dengan kaki ini.

Akankah semilir lautan ini akan berganti dengan seru dan deru kendaraan, transportasi yang mulai riuh dan menghilangakn alur semilir angin di pedesaan kami, apakah rindu hijau  in iakan hilang dengansenyum penuhamarah disetiap sudut desa-desa kami adalah kenyataan yang didepan mata.

Anginmu akan hilang

tergantikan deru mesin

sawahmu juga akan hilang tergantikan apartemen dan gedung penuh jualan

deretan toko yang membuat wajah desa menajdi kota

tidak ada senyum ketulusan lagi

diantara senyum yang hilang dalam gelapnya birokrasi dan manajemen uang

terbeli hati dan nuranimu

Tidak semua yang menentang adalah tidak mau ada kemajuan, tetapi sebaiknya apakah manut grubyuk juga baik untuk semua tanpa koreksi dan pertimbangan demi dan demi kemajuandan investor nampaknay sudah dilakukan yang namanya "pemaksaan"halus terhadap warga desa kami yang kena langsung maupun tidak kena langsung, ya terdampak mega proyek ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline