Lihat ke Halaman Asli

Hidup seperti Apa Adanya sebagaimana Adanya: Bagian Ke-2

Diperbarui: 15 Februari 2016   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Andy Laksmana Sastrahadijaya

 

Dengan tanpa bermaksud menyanjung diri sendiri, artikel lama saya ini (http://www.kompasiana.com/als/hidup-seperti-apa-adanya-sebagaimana-adanya_54f7525ba3331184358b4580) sungguh masih relevan sampai saat ini dan entah sampai kapan lagi sehingga sungguh layak untuk dibuatkan sambungannya.

 

Takdir itu adalah Seperti Apa Adanya sebagaimana Adanya

 

Marilah kita mengkaji makna ‘takdir’ seperti yang termuat dalam AQ sbb: "Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]:38). Takdir “Matahari beredar di tempat peredarannya” sungguh menggambarkan keadaan apa adanya sebagaimana adanya. Ayat lainnya: Fushshilat (41):11 yang melukiskan makna ‘takdir’ lainnya "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya." Jagat raya alias alam semesta ini tidak punya pilihan lain kecuali menjalani ‘takdir’nya, yakni bekerja seperti apa adanya sebagaimana adanya, di sini saat ini. Demikian pula tanaman, hewan, dan manusia, mereka sebenarnya dan pada kenyataannya tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjalani takdirnya pada setiap saat. Namun manusia adalah makhluk yang antara lain memiliki kemampuan untuk berpikir dan merasakan. Dan sayang seribu sayang, pikiran dan perasaan sebagian besar manusia itu terkondisi berat dengan ajaran keliru dan menyesatkan bahwa manusia itu memiliki ‘kemauan bebas’ yang berkuasa melawan ‘takdir’ yang secara malu-malu lalu dimaknai sebagai ‘nasib.’ Apakah akibatnya jika manusia menjalankan kemauan bebas yang sebenarnya ilusif dan khayali ini? Ia tidak HIDUP di sini pada saat ini seperti apa adanya sebagaimana adanya; ia melarikan diri dari kenyataan dan berusaha menghindari segala sesuatu yang sebenarnya tidak terhindarkan (silakan baca keterangan singkatnya dalam artikel bagian pertama.)

 

Keterangan dalam Kata-Kata tidak Pernah menjadi Sesuatu yang Diterangkannya

Seperti yang telah saya jelaskan secara singkat dalam artikel berjudul: Kata-Kata Bukanlah ‘Benda’nya--http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya_54f67cbaa3331137028b4d4c--(jangan lupa simak pula Bagian Keduanya--http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya-bagian-dua_54f414897455137d2b6c8615), semua yang sedang kita lakukan di sini saat ini sebenarnya menerangkan keadaan ‘apa adanya sebagaimana adanya,’ yang benar-benar sedang terjadi. Tidak terdapat kejadian jenis lainnya (‘what was’ atau ‘what should be’). Sekarang cobalah amati apa yang sedang Anda kerjakan di sini saat ini: Anda sedang membaca tulisan ini pada layar monitor kompie atau HP Anda, Anda dapat merasakan diri Anda sedang melakukan tindakan itu, merasakan seperti apa adanya sebagaimana adanya, Anda tentu saja dapat menerangkan kepada orang lain apa yang sedang Anda kerjakan itu, tetapi keterangan itu sama sekali BUKANlah keadaan di sini saat ini itu sendiri. Kata-kata tidak pernah menjadi ‘benda’nya.

Pikiran Murni dan Pikiran Penuh Noda Keterkondisian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline